Ketua Umum Peradi: Pendidikan Tinggi Hukum Jangan Berorientasi Gelar
Utama

Ketua Umum Peradi: Pendidikan Tinggi Hukum Jangan Berorientasi Gelar

Kampus-kampus hukum di Indonesia perlu berkonsultasi dengan organisasi profesi advokat untuk pengembangan kurikulum. Cara ini sudah biasa di berbagai negara.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 3 Menit

Keheranan Luhut juga sudah diakui Guru Besar Hukum Pidana FHUI, Harkristuti ‘Tuti’ Harkrisnowo dalam sesi sebelumnya. Ia mengatakan pendidikan tinggi hukum di Indonesia selama ini lebih berorientasi akademis alih-alih kebutuhan praktis. “Kita harus menetapkan ulang, arah masa depan pendidikan tinggi hukum seperti apa. Mau lebih menekankan kebutuhan praktisi andal atau pengembangan karier akademik,” kata Tuti.

Luhut menambahkan agar pendidikan tinggi hukum melakukan perbandingan kualitas lulusan Sarjana Hukum terhadap para Meester in de Rechten ‘MR.’ masa lalu. Gelar itu disandang para sarjana hukum lulusan Rehtshoogeschool yang pendidikannya dimulai tahun 1924 di masa kolonial Hindia Belanda.

“Ada kesan seolah-olah MR. itu lebih berkualitas dibanding para S.H., tapi bukan suatu kepastian karena belum ada penelitian. Kesan itu tidak perlu dibantah, dijadikan saja sebagai motivasi agar kita terus berusaha memperbaiki apa yang masih kurang,” kata Luhut.

Konferensi kelima icLave ini memang secara khusus menyorot peran pendidikan tinggi hukum Indonesia jelang usia 100 tahun pada 28 Oktober 2024 tahun depan. Diskusi yang diangkat adalah dampak kehadiran pendidikan tinggi hukum modern itu terhadap hukum dan keadilan di Indonesia.

Luhut menjadi narasumber pada salah satu seminar icLave berjudul “The Outlook of Legal Education in Indonesia and Beyond”. Ia menjadi narasumber bersama dengan G.S. Bajpai (Vice-Chancellor of National Law University Delhi), Gary Bell (Associate Professor of National University of Singapore Law School), dan Agung Pasca Siringoringo (Cultural Entrepreneur “Siholta”).

Tags:

Berita Terkait