Ketua Umum Peradi: Pendidikan Tinggi Hukum Jangan Berorientasi Gelar
Utama

Ketua Umum Peradi: Pendidikan Tinggi Hukum Jangan Berorientasi Gelar

Kampus-kampus hukum di Indonesia perlu berkonsultasi dengan organisasi profesi advokat untuk pengembangan kurikulum. Cara ini sudah biasa di berbagai negara.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 3 Menit
Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Luhut M.P. Pangaribuan sebagai salah satu narasumber 5th International Conference on Law and Governance (icLave) di Balige, Toba, Sumatera Utara, Rabu (8/11/2023). Foto: NEE
Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Luhut M.P. Pangaribuan sebagai salah satu narasumber 5th International Conference on Law and Governance (icLave) di Balige, Toba, Sumatera Utara, Rabu (8/11/2023). Foto: NEE

Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Pimpinan Luhut M.P. Pangaribuan mengungkapkan ada “penyakit” di dunia pendidikan tinggi yang harus dihindari kampus hukum. “Saat ini ada yang minta advokat menjadi program studi di kampus hukum bergelar M.Ad. Kesan saya usulan ini hanya berorientasi gelar, yang belakangan ini jadi semacam ‘penyakit’,” ujarnya saat menyampaikan sambutan kunci di Balige, Toba, Sumatera Utara, Rabu (8/11/2023) lalu.

Luhut hadir sebagai salah satu narasumber 5thInternational Conference on Law and Governance (icLave) yang digelar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI). Konferensi berlangsung di Labersa Toba Hotel & Convention Centre, Toba, Sumatera Utara. Tema yang diangkat adalah “Law, Justice, and The Law School towards 100 Years of Legal Education in Indonesia”.

Baca Juga:

Luhut menyampaikan sejumlah pendapatnya tentang pendidikan tinggi hukum di Indonesia yang menjelang masa satu abad. Perlu dicatat bahwa Luhut tidak hanya aktif berkarier sebagai advokat, tetapi juga salah satu dosen di FHUI. Ia menyampaikan keheranan atas relasi kampus hukum dengan organisasi profesi hukum seperti Peradi.

Ia menilai relasi yang dibangun sebatas keperluan kerja sama pelatihan teknis calon advokat yang dikenal sebagai Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA). Padahal, pengalaman di negara lain menunjukkan relasi lebih jauh.

Bagaimana kampus-kampus hukum di berbagai negara berkonsultasi dengan organisasi profesi advokat untuk pengembangan kurikulum. “Saya sebagai Ketua Umum Peradi, bahkan belum pernah mendengar pertanyaan ini. Padahal hemat saya itu sangat baik dan produktif untuk merespon secara positif perkembangan terkini,” ujarnya.

Pendapat Luhut ini sejalan dengan penjelasan Simon Butt, profesor dari University of Sydney Law School. Narasumber dari kampus hukum Australia ini menceritakan rutinitas kampusnya setiap tahun berkonsultasi dengan dunia industri pengguna lulusan pendidikan tinggi hukum. “Kami mengevaluasi kurikulum secara berkala dengan bertemu pihak-pihak di industri,” ujarnya Simon.

Keheranan Luhut juga sudah diakui Guru Besar Hukum Pidana FHUI, Harkristuti ‘Tuti’ Harkrisnowo dalam sesi sebelumnya. Ia mengatakan pendidikan tinggi hukum di Indonesia selama ini lebih berorientasi akademis alih-alih kebutuhan praktis. “Kita harus menetapkan ulang, arah masa depan pendidikan tinggi hukum seperti apa. Mau lebih menekankan kebutuhan praktisi andal atau pengembangan karier akademik,” kata Tuti.

Luhut menambahkan agar pendidikan tinggi hukum melakukan perbandingan kualitas lulusan Sarjana Hukum terhadap para Meester in de Rechten ‘MR.’ masa lalu. Gelar itu disandang para sarjana hukum lulusan Rehtshoogeschool yang pendidikannya dimulai tahun 1924 di masa kolonial Hindia Belanda.

“Ada kesan seolah-olah MR. itu lebih berkualitas dibanding para S.H., tapi bukan suatu kepastian karena belum ada penelitian. Kesan itu tidak perlu dibantah, dijadikan saja sebagai motivasi agar kita terus berusaha memperbaiki apa yang masih kurang,” kata Luhut.

Konferensi kelima icLave ini memang secara khusus menyorot peran pendidikan tinggi hukum Indonesia jelang usia 100 tahun pada 28 Oktober 2024 tahun depan. Diskusi yang diangkat adalah dampak kehadiran pendidikan tinggi hukum modern itu terhadap hukum dan keadilan di Indonesia.

Luhut menjadi narasumber pada salah satu seminar icLave berjudul “The Outlook of Legal Education in Indonesia and Beyond”. Ia menjadi narasumber bersama dengan G.S. Bajpai (Vice-Chancellor of National Law University Delhi), Gary Bell (Associate Professor of National University of Singapore Law School), dan Agung Pasca Siringoringo (Cultural Entrepreneur “Siholta”).

Tags:

Berita Terkait