Perhatian publik Tanah Air tertuju kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu ke belakang. Hal ini tentu saja terkait dengan polemik hasil tes wawasan kebangsaan sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi Menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara.
Sebagaimana diketahui, 75 orang pegawai KPK dinyatakan tidak memenuhi syarat untuk beralih status menjadi aparatur sipil negara akibat gagal saat mengikuti tes wawasan kebangsaan. Sebagian orang, terutama pegiat antikorupsi di Tanah Air memandang fakta ini sebagai dampak dari upaya sistematis pelemahan terhadap lembaga pemberantasan korupsi tersebut. Meskipun Pemerintah, DPR, bahkan pimpinan KPK periode ini membantah adanya tuduhan pelemahan sistemik terhadap KPK, hal ini dirasa tidak cukup menjawab kecurigaan publik yang kadung melihat fakta-fakta yang tengah berlangsung.
Jauh sebelum polemik ini berlangsung, Wakil Ketua KPK periode 2011-2015, Bambang Widjojanto dalam pengantar buku Jangan Bunuh KPK (2016) pernah mengungkap tentang adanya berbagai upaya yang ditujukan untuk mendekonstruksi eksistensi KPK. Menurut Bambang, upaya tersebut dapat ditemukan dalam berbagai bentuk, salah satu yang relevan dengan persoalan hari ini adalah upaya mendekonstruksi eksistensi KPK lewat melumpuhkan kapasitas dan merusak kredibilitas sumber daya manusia KPK.
Langkah ini bisa dimulai lewat proses paling awal rekrutmen pimpinan KPK. Menurut Bambang, wujud dari langkah ini adalah terpilihnya pimpinan KPK dan komposisinya yang dinilai bukan merupakan sumber daya terbaik yang dihasilkan dalam proses seleksi pimpinan KPK. Linear dengan deskripsi ini, satu hal yang juga bisa dilihat dari polemik hasil tes wawasan kebangsaan di KPK yang baru saja berlangsung adalah tersingkirnya sejumlah nama-nama pegawai KPK yang selama ini dinilai memiliki kinerja istimewa dalam pemberantasan korupsi di Tanah Air.