Ketika Pengadilan Hubungan Industrial Tak Lagi Dipercaya
Utama

Ketika Pengadilan Hubungan Industrial Tak Lagi Dipercaya

Kalangan buruh menilai tidak ada lagi alasan untuk mempertahankan eksistensi PHI. Begitu juga dengan kaum pengusaha, PHI tak lagi diprioritaskan.

IHW
Bacaan 2 Menit

 

Hemasari Dharmabumi, pegiat Internationl Union of Foodworker, menuturkan historis lahirnya pengadilan perburuhan. Labor Court pertama kali ada di Swedia untuk mengerem aktivitas serikat buruh. Di Indonesia, akhirnya itu terjadi. Serikat buruh sibuk dengan aktivitas di PHI hingga melupakan pengorganisasian dan penguatan solidaritas buruh.

 

Aben menambahkan, LBH Jakarta selama ini tidak memposisikan PHI sebagai pilihan utama untuk menyelesaikan perkara perburuhan. Ia mengaku lebih memilih jalur hakum lain, semisal hukum pidana untuk menuntaskan kasusnya. UU Ketenagakerjaan juga mengenal sanksi pidana bagi pengusaha yang melanggarnya.

 

Pilihan LBH Jakarta untuk memakai upaya pidana ternyata cukup efektif. Dalam perkara Hotel Sultan misalnya. Direktur Human Resource Development hotel bintang lima di Jakarta itu kini duduk sebagai pesakitan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ia bahkan sudah dituntut hukuman penjara satu tahun oleh Jaksa Penuntut Umum. Upah beberapa pekerja hotel itu yang awalnya tidak dibayarkan, kemudian dicairkan tak lama setelah kepolisian melakukan penyidikan.

 

Pilihan sikap LBH Jakarta diamini Reytman Aruan. Kasubag Hukum dan Organisasi Ditjen PHI dan Jamsostek Depnakertrans itu menyayangkan sikap buruh yang terpaku pada PHI. Ketika hak normatifnya dilanggar, seharusnya buruh tidak hanya menuntut melalui upaya perdata (PHI, red). Tapi juga lewat hukum pidana, ujarnya melalui gagang telepon, Minggu (20/7).

 

Proses hukum pidana, sambung Reytman, mutlak dilakukan buruh ketika pegawai pengawas ketenagakerjaan di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi tidak menjalankan fungsinya. Pengawas sebenarnya juga penyidik seperti polisi. Keberadaan PHI tidak mengebiri kewenangan pengawas. Sehingga harusnya pengawas juga aktif mengawasi dan menindak setiap pelanggaran UU. Kalau fungsi pengawasan itu tidak berjalan, mau tidak mau buruhnya yang aktif melaporkan. Baik itu ke Kepolisian ataupun ke pengawas, sarannya.

 

Djimanto, Ketua Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) ternyata juga menyimpan keresahan yang serupa. Berdasarkan aduan dari beberapa anggotanya, Djimanto mengungkapkan kekecewaan Apindo atas kinerja PHI dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Prosesnya bertele-tele dan terkadang putusannya di luar ketentuan Undang-Undang, ungkap Djimanto saat ditemui di kantornya, Senin (21/7).

 

Hanya saja, lanjut Djimanto, hingga saat ini Apindo tidak terpikirkan untuk melakukan aksi boikot terhadap PHI. Ia menganjurkan kepada anggotanya untuk mengedepankan proses penyelesaian perselisihan secara bipartit. Karena yang lebih tahu permasalahan di suatu perusahaan adalah pengusaha dan pekerjanya itu sendiri. Bukan pihak lain, pungkasnya.

Tags: