Ketidakadilan Sistem Pengadilan di Indonesia
Kolom

Ketidakadilan Sistem Pengadilan di Indonesia

​​​​​​​Hakim memiliki dua sisi mata uang yang dapat muncul dalam waktu yang bersamaan, akan tetapi ia dapat mengontrolnya dengan memunculkan satu sisi mata uang yang berdasarkan moral dalam memutus perkara.

Bacaan 2 Menit

 

Selain itu perkara pidana memiliki sanksi kurungan dan denda. Penerapan sanksi denda terhadap kasusnya akan memperberat terdakwa miskin yang tidak mampu membayarnya. Dalam kasus Nenek Asyani, ia divonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 1 tahun 3 bulan dan denda Rp 500 juta subsider 1 hari hukuman percobaan karena ia mencuri dua batang pohon jati milik perhutani untuk dibuat tempat tidur (Liputan 6, “Nenek Asyani Terdakwa Pencuri Kayu Divonis 1 Tahun Penjara”, 23 April 2015). Perbedaan ekonomi sosial menimbulkan ketidakadilan bagi si miskin di dalam sistem pengadilan di dalam sistem ekonomi yang memiliki kebebasan untuk dapat memperkaya dirinya.

 

Perasaan ras yang timbul sebagai orang yang dilahirkan dan  memiliki tanah air dari turunannya membuat kelompok yang fanatik. Hal ini tidak dapat dihapuskan dari masyarakat melalui sistem yang demokratis sekalipun. Perbedaan ras sering mempengaruhi putusan hakim dan tentunya hal tersebut merugikan terdakwa dari ras golongan tertentu, misal orang kulit hitam di Amerika. Hakim akan terpengaruh dengan pelabelan ras kulit hitam yang memiliki catatan kriminal yang dilakukan oleh anak muda kulit hitam.

 

Pelabelan atas ras tersebut membuat hakim memiliki penilaian subjektif. Hakim telah bersikap "prejudice" terlebih dahulu. Hal ini merugikan terdakwa kulit hitam yang memiliki perkara dan mengalami pembiasan perkara di pengadilan. Pembiasan perkara yang terjadi karena sudut pandang subjektif dalam mempertimbangkan putusan dendanya. Demikian pula halnya dengan penduduk ras minoritas di Indonesia. Mereka akan mengalami perlakuan yang berbeda dari penduduk aslinya.

 

Hakim akan menyangkal pernyataan ketidakadilan tersebut di atas. Hal ini akan berlaku sampai akhir zaman. Keadilan tidak pernah menjadi tujuan dari sistem pengadilan di Indonesia. Keadilan hanya dapat dijangkau dengan kesamaan perlakuan (fairness), baik dari peraturannya maupun dari keadaan di luar proses pengadilan. Perlakuan yang sama dapat menempatkan setiap individu dalam posisi yang sama di depan pengadilan.

 

Keadilan dan Wilayah Pribadi

Nyatanya, dalam keadaan pengadilan yang telah transparan sekalipun terdapat wilayah kosong. Wilayah yang dalam gerhana matahari disebut “penumbra”. Wilayah yang tidak dalam poros antara bumi bulan dan matahari. Sudut pandang yang tidak masuk dalam porosnya tidak melihat gerhana matahari secara penuh. Inilah kekosongan wilayah yang tidak tertutupi. Seseorang yang berada di dalam posisi yang demikian tidak terkena “umbra” yang tertutupi. Hal ini dapat dijadikan perumpamaan dalam hakim membuat putusan di pengadilan. Putusan yang diambil berdasarkan peraturan yang sah dan putusan yang diambil dalam wilayah pribadinya.

 

Umbra dianggap sebagai hukum positif. Di dalam putusannya, hakim akan merujuk dan menggunakan peraturan yang sah. Sistem hukum yang demikian menganut aliran hukum positif. John Austin dalam bukunya yang berjudulThe Province of Jurisprudence Determined” menyatakan tentang sumber hukum bahwa isi hukum dan keberadaannya tergantung kepada fakta sosial, bukan moral yang berasal dari Tuhan (merit).

 

Ketidakadilan yang terjadi di dalam peraturan dapat dikesampingkan dan hakim tetap dapat menggunakan peraturannya. Putusan hakim yang telah dibuat tersebut telah sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan yang sah. Dengan kata lain, peraturan dianggap telah mengungkapkan keadilan bagi semua pihak yang berperkara.

Tags:

Berita Terkait