Pernah digugat perusahaan perkebunan ke pengadilan akibat keterangannya sebagai ahli tidak menyurutkan Bambang Hero Sahardjo bersuara lantang. Guru Besar Institut Pertanian Bogor itu sering mengusung perlunya memperhitungkan kerusakan lingkungan hidup akibat tindakan pembakaran. Sebut misalnya kebakaran lahan gambut. Butuh ratusan tahun untuk memulihkan lingkungan gambut yang sudah rusak akibat dibakar.
Dalam diskusi yang diselenggarakan Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM Yogyakarta, pekan pertama Desember 2020, Bambang kembali menyinggung pentingnya mengembalikan aset dalam perkara korupsi. Kerusakan lingkungan yang timbul akibat perbuatan korupsi perlu diperhitungkan sebagai kerugian keuangan negara, sehingga perlu dimasukkan ke dalam surat dakwaan jaksa. “Harus dicek dalam surat dakwaan jaksa, kerugian lingkungan itu masuk tidak dalam tuntutan,” tegasnya.
Menurut Bambang, aparat penegak hukum perlu satu suara memaksimalkan pengembalian aset (asset recovery) dalam kasus tindak pidana korupsi yang berdampak pada kerusakan lingkungan seperti kehutanan dan pertambangan. Bambang termasuk satu dari ahli yang selalu menyuarakan pentingnya menghitung dan memasukkan kerusakan lingkungan sebagai kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi. Kerusakan lingkungan dihitung (valuasi) lalu dimasukkan sebagai beban yang harus ditanggung oleh terdakwa, baik terdakwa direksi perseroan maupun terdakwa korporasi.
Tantangannya bukan hanya dari komitmen aparat penegak hukum, tetapi juga dari peraturan perundang-undangan. Pengadilan pun belum sepenuhnya menerima kerusakan lingkungan dalam lingkup kerugian keuangan negara. Pendekatan aparat penegak hukum pada umumnya masih konvensional. Direktur Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM, Oce Madril, mengatakan jika ingin memasukkan kerusakan lingkungan dan kerugian sosial sebagai bagian kewajiban terdakwa kasus korupsi, maka perlu pendekatan lebih maju. “Pendekatan kita harus lebih progresif,” ujarnya.