Kenali DPA-NPA, Perjanjian Penangguhan Penuntutan dalam Kejahatan Bisnis
Utama

Kenali DPA-NPA, Perjanjian Penangguhan Penuntutan dalam Kejahatan Bisnis

Ius constituendum yang perlu dipertimbangkan penerapannya di Indonesia. Jejak rekam pelaku kejahatan sangat penting.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

(Baca juga: Menimbang Keadilan Restoratif untuk Kejahatan Korporasi).

Situasi berbeda dapat dilihat di Indonesia. Keadilan distributif yang masih menjadi dasar filosofi penegakan hukum pidana ternyata menunjukkan beberapa dampak yang perlu dicarikan jalan keluarnya. Di bidang kejahatan ekonomi misalnya bisa ditemukan sejumlah contoh kasus. Selain suap perizinan proyek Meikarta, ada kasus Hambalang.

Asep berpendapat tetap dibutuhkan kriteria tertentu agar DPA tidak terkesan menyederhanakan proses hukum. Misalnya, ada permintaan dari pihak yang berperkara. Di beberapa negara, DPA atau njuction atau transactie, “dilaksanakan berdasarkan adanya permintaan dari salah satu pihak,” ujar Asep dalam acara bedah bukunya, Kamis (9/5) lalu, di Jakarta.

Pengadilan di AS dan Inggris dapat memerintahkan penundaan pemeriksaan. Tentu saja, sebagai bagian dari kompensasi terhadap keputusan penundaan tersebut, pelaku kejahatan perlu mengakui telah melakukan kesalahan sebagaimana yang disangkakan. Dengan begitu kepada pelaku dikenakan kewajiban membayar biaya perjanjian penangguhan dan denda, serta membayar biaya penyelidikan.

Menurut Asep, konsep peraturan yang responsif (responsive regulatory)tidak mengharuskan setiap pelanggaran harus diproses hingga ke pengadilan. Dasar berfikirnya adalah bagaimana meletakkan tanggung jawab untuk memelihara keharmonisan para pihak terkait. Responsive regulatoy juga menitikberatkan pada perbaikan pelaku tanpa harus melalui penuntutan dan penghukuman sepanjang palaku memiliki jejak rekamyang mendukung.

Selain itu, seberat apapun hukuman yang akan dijatuhkan harus dimulai dengan persuasi, peringatan tertulis, sanksi perdata, sanksi pidana, penangguhan ijin usaha, sampai pencabutan ijin usaha. Hal ini menjadi dasar berfikir konsep responsive regulatory dalam penanganan perkara tindak pidana ekonomi. Terang sekali pengaruh fisafat utilitas dalam kerangka penegakan hukum seperti ini: mengedepankan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan; kesejahteraan; kedamaian; dan menekankan pada aspek kualitas atau dampak.

Ketua Badan Kerjasama Dekan Fakultas Hukum se-Indoensia, Farida Patitingi menilai, secara teori konsep DPA adalah suatu bentuk penegakan hukum pidana yang futuristik. Secara teori merupakan kajian berbobot bagi khazanah hukum di Tanah Air. Cuma, menerapkannya tak semudah membalik telapak tangan karena butuh infrastruktur, serta harus lebih dahulu diakomodasi dalam peraturan perundang-undangan. “Apapun harus ada dulu bentuk hukum yang mewadahi,” ujar Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin ini.

Secara substansi, DPA perlu memuat beberapa hal. Farida menyebutkan beberapa seperti, uraian fakta yang harus disampaikan oleh pelaku. Selain itu persetujuan pelaku kejahatan ekonomi untuk melakukan kerjsama dengan penuntut dalam hal ini jaksa. Lalu, ada jangka waktu perjanjian yang jelas, dan kewajiban pelaku dirinci secara detil dalam perjanjian.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait