Keluarga TKI Sulit Akses Informasi
Berita

Keluarga TKI Sulit Akses Informasi

Pemerintah kurang responsif memberikan informasi terkini kepada keluarga pekerja migran.

ADY
Bacaan 2 Menit

Menanggapi hal itu pengacara Solidaritas Perempuan yang kerap mendampingi pekerja migran dan keluarganya, Ummi Habsyah, mengatakan Solidaritas Perempuan sudah melaporkan lebih dari dari 70 kasus pekerja migran dari tahun 2011-2013 kepada pemerintah. Dari jumlah itu sejumlah kasus diantaranya berkaitan dengan keluarga pekerja migran yang tidak mendapat informasi dari pemerintah. Untuk kasus Warnah, Ummi mengatakan pihak Kemlu terakhir kali memberikan informasi kepada keluarga pekerja migran dan pendampingnya pada akhir tahun lalu. Namun sejak saat itu Kemlu belum memberikan informasi lanjutan sampai sekarang.

Menurut Ummi, minimnya informasi yang diterima keluarga pekerja migran karena pemerintah kurang responsif menjalankan tugasnya memberi perlindungan untuk pekerja migran. Padahal, petinggi Kemlu menyatakan ada standar operasional pelayanan dalam penanganan kasus yang menegaskan bahwa setiap perkembangannya harus segera diinformasikan kepada keluarga atau pendamping. Ironisnya, hal tersebut tidak berjalan. “Kami mendesak Kemlu untuk membenahi sistem itu sesuai kewenangan yang mereka miliki,” tandasnya.

Sementara Koordinator Program Solidaritas Perempuan, Puspa Dewy, mengatakan keterbatasan informasi yang diberikan pemerintah kepada keluarga pekerja migran merupakan segelintir dari masalah pekerja migran yang belum terselesaikan. Padahal, konvensi Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Keluarganya sudah diratifikasi tahun lalu menjamin hak atas informasi. Tentu saja bagi pekerja migran dan keluarganya. Namun, ada persoalan internal di lembaga pemerintahan yang membuat keluarga pekerja migran kesulitan mendapatkan informasi yang dibutuhkan.

Atas dasar itu Dewy menilai hak atas informasi harus dibenahi secara komprehensif dan wajib dimasukan dalam RUU PPILN yang sekarang dibahas DPR. Sayangnya, dalam RUU PPILN tidak memuat konvensi Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Keluarganya itu sebagai acuan. Akibatnya, ketentuan yang dirancang dalam RUU PPILN tidak merujuk konvensi tersebut. Khususnya, berkaitan dengan hak atas informasi yang responsif, transparan dan mudah diakses pekerja migran dan keluarganya.

Minimnya informasi yang dimiliki pemerintah atas kondisi pekerja migran menurut Dewy tak lepas dari keterbatasan data. Sehingga, pemerintah kesulitan mencari jejak pekerja migran yang tersangkut masalah. Baginya, hal itu disebabkan oleh pengelolaan pekerja migran yang diserahkan kepada swasta. Akibatnya, data pekerja migran cenderung dimiliki oleh PJTKI ketimbang pemerintah. “Harusnya itu tangungjawab negara, bukan malah dilemparkan ke swasta,” urainya.

Namun yang jelas, keluarga pekerja migran sangat membutuhkan keterangan resmi dari pemerintah, sejauh mana kondisi anggota keluarga mereka yang bekerja di luar negeri. Informasi itu menurut Dewy penting guna mencegah agar kasus yang menimpa pekerja migran tidak bertambah parah. “Kalau informasi itu cepat diberikan maka dapat dilakukan pencegahan agar kasus tidak memburuk. Jadi sejauh apa prosesnya, bagaimana tindakan pemerintah, dapat dipantau dan diketahui keluarga pekerja migran,” tukasnya.

Tags: