Kedudukan Aktif Hakim Temukan Bukti dalam Revisi UU Kepailitan Dinilai Kacaukan Sistem
Utama

Kedudukan Aktif Hakim Temukan Bukti dalam Revisi UU Kepailitan Dinilai Kacaukan Sistem

Bahkan Singapura mereformasi konsep pembuktian ketidakmampuan pembayaran hutangnya menjadi konsep persangkaan seperti yang selama ini diterapkan di Indonesia. Jadi tak perlu ikut-ikutan Negara common law lain yang sistem pembuktiannya pun tak cocok dengan Indonesia.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit

 

Insolvensi Test dalam Hukum Indonesia

Hukum Indonesia membedakan secara tegas antara definisi insolvensi dengan pailit. Pailit dirumuskan dalam pasal 2 ayat (1) UU 37/2004 dan Insolvensi dirumuskan dalam pasal 178 (UU 37/2004). Dengan demikian, Ricardo berpandangan bahwa debitur pailit belum tentu insolven karena ia masih mempunyai hak untuk mengajukan perdamaian ketika ia masih merasa solven.

 

Soalnya, hak mengajukan perdamaian ini, kata Ricardo, maka semua kreditur termasuk kreditur separatis tak diperbolehkan melakukan eksekusi jaminan hingga jangka waktu 90 hari. Sebaliknya, jika debitur sudah dinyatakan pailit tapi tidak mengajukan usulan perdamaian atau usulan damainya ditolak oleh kreditur, barulah ia bisa dikatakan insolvensi.

 

Makanya insolvency test itu dalam hukum Indonesia dimulai sejak dia dinyatakan pailit, dengan memberikannya hak untuk mengajukan perdamaian berdasarkan pasal 144,” kata Ricardo.

 

Lagi pula, sambung Ricardo, untuk mengantisipasi insolvency test ini sistem hukum Indonesia sudah terbangun, di mana majelis hakim tak perlu mempertimbangkan karena dia wajib memberi kesempatan PKPU sementara. PKPU itulah yang menjadi media untuk insolvency test yang dalam waktu 45 hari setelah pailit debitur diberi kesempatan untuk membuktikan apakah ia pantas untuk PKPU atau tidak. “Itu yang disebut insolvency test secara teknis,” ungkapnya.

 

Anggapan bahwa begitu mudahnya pailit di Indonesia sehingga menginginkan untuk mengadopsi pola insolvency test yang digunakan di negara-negara common law dianggap Ricardo tak dapat dibenarkan. Insolvency test menurutnya adalah doktrin yang terus bergerak. Tidak bisa Indonesia yang menganut civil law disamakan dengan negara penganut common law yang pembuktiannya lebih fleksibel.

 

(Baca Juga: Sejumlah Persoalan Hukum Mendesak Adanya Revisi UU Kepailitan)

 

Di Indonesia, kata Ricardo, walaupun kita bisa berikan alat bukti lain, namun selama bukti tersebut tak dihadirkan dalam persidangan maka tidak dihitung. “Sebegitu rigid-nya sehingga jika pembuktian sederhana dengan persangkaan diubah menjadi insolvency test, akan sulit kita katakan insolven tanpa bisa membuktikannya, sudah pasti permohonan akan ditolak majelis. Sementara, majelis hakim di Indonesia jelas tidak bisa memaksa debitur untuk menyerahkan laporan keuangan,” jelas Ricardo.

 

Di Amerika, contoh Ricardo, orang wajib membuktikan kembali ketika dia merasa tak punya hutang. Sedangkan di Indonsia saat dia mengatakan tak memiliki hutang dia tidak dibebani untuk membuktikan itu. Ssebaliknya, justru orang yang mengatakan debitur memiliki hutang kepadanya lah yang harus membuktikan keberadaan hutang debitur tersebut.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait