Kebijakan Pemerintah di Bidang Agraria Dikritik
Berita

Kebijakan Pemerintah di Bidang Agraria Dikritik

Karena tidak memperkuat industrialisasi agraria dan berpotensi memperlemah posisi tawar pekerja.

ADY
Bacaan 2 Menit
Kebijakan Pemerintah di Bidang Agraria Dikritik
Hukumonline

Memperingati hari lahirnya UU No.5Tahun 1960 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria pada 24 September, serikat pekerja dan petani mengkritik kebijakan pemerintah di sektor agraria. Menurut Sekjen Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Iwan Nurdin, pada hari yang juga disebut sebagai hari tani nasional itu seribu petani akan menggelar demonstrasi di depan istana negara. Menurutnya, aksi itu dilakukan untuk menolak praktik perampasan tanah dan liberalisasi pertanian yang terjadi di masa pemerintahan Presiden SBY.

Menurut Iwan, sampai saat ini pemerintah minim menerbitkan kebijakan yang mendukung kesejahteraan kaum tani dan keluarganya. Hal itu terlihat dari data BPS yang mencatat sampai Mei 2013 dari 31,17 juta keluarga petani, menyusut sampai 5,04 juta keluarga. Lewat data tersebut Iwan menghitung keluarga petani berkurang rata-rata 500 ribu keluarga setiap tahun. Akibatnya, jumlah petani gurem atau berlahan kecil semakin meningkat. Padahal, para petani gurem itu harus menghadapi gempuran produk-produk pangan impor.

Iwan melihat negara-negara yang mengekspor produk pangan itu melakukan subsidi, sehingga mampu bersaing dengan komoditas sejenis dari negara lain. Sayangnya, pemerintah Indonesia tidak melakukan itu, sehingga para petani kesulitan menyaingi harga pangan impor. Akibat lemahnya dukungan pemerintah, Iwan melihat berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia, sekarang bukan lagi menjadi pengekspor bahan pangan, tapi pengimpor. “Negara berkembang hanya dimanfaatkan untuk mengekspor bahan mentah, dan dimanfaatkan tanahnya untuk investor,” katanya dalam jumpa pers di kantor LBH Jakarta, Senin (23/9).

Dari data BPS, Iwan mencatat jumlah lahan pertanian menurun namun perusahaan pertanian meningkat. Ia menghitung rata-rata kepemilikan lahan petani semakin mengecil yaitu 0,3 hektar. Mengacu kondisi itu Iwan mengatakan melemahnya kaum tani mempengaruhi posisi tawar pekerja. Sebab, jika petani tidak mampu mempertahankan sumber penghidupannya maka berpotensi menjadi cadangan tenaga kerja baru yang akan menyasar ke daerah industri. Atau malah para petani itu beralih profesi menjadi pekerja migran.

Menanggapi hal tersebut Iwan berpendapat pemerintah harusnya melakukan pembaharuan agraria, dengan begitu akan tercipta industrialisasi yang kuat. Iwan menegaskan, yang dimaksud pembaharuan agraria adalah pendistribusian tanah kepada petani yang tidak memiliki lahan pertanian atau jumlahnya sedikit. Mekanisme pendistribusiannya menurut Iwan dapat dilakukan lewat badan desa. Iwan mengatakan argumennya itu bukan tanpa alasan, karena negara-negara lain yang sudah melakukan pembaharuan agraria seperti Jepang, Korea Selatan, China dan Amerika Serikat terbukti berhasil industrialisasinya.

Mengingat pembaharuan agraria tidak dijalankan, atau abai melaksanakan amanat UU Pokok Agraria, maka industrialisasi di Indonesia berjalan lambat seperti di negara lain yang tidak melakukan pendistribusian tanah. Seperti Filipina, yang terkenal bukan karena industrialisasinya tapi sebagai salah satu negara pengirim pekerja migran.

Ketidakberpihakan pemerintah kepada petani menurut Iwan membuat ketahanan pangan di dalam negeri menjadi rapuh. Misalnya, terjadi krisis pangan, untuk mengatasi hal itu pemerintah bukan melakukan pendistribusian tanah untuk menggenjot produksi pangan namun melakukan impor. Iwan melihat pemerintah membuka kran impor pangan dengan alasan untuk menekan harga pangan dan sifatnya jangka pendek. Padahal, jika pemerintah serius, untuk menanam bahan pangan seperti kedelai dan jagung tidak membutuhkan masa panen yang lama. “Hanya butuh 3 bulan untuk panen. Ini berarti pemerintah tidak serius,” tukasnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: