Kebijakan Narkotika Menambah Masalah Akuntabilitas Sistem Pidana di Indonesia
Terbaru

Kebijakan Narkotika Menambah Masalah Akuntabilitas Sistem Pidana di Indonesia

Masa penangkapan 6 hari dalam perkara penyalahgunaan narkotika absen akuntabilitas. Selama masa penangkapan itu tidak dapat diketahui bagaimana kondisi orang yang ditangkap.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform, Maidina Rahmawati. Foto: Tangkapan layar zoom
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform, Maidina Rahmawati. Foto: Tangkapan layar zoom

Akuntabilitas dalam proses penegakan hukum sangat penting. Tanpa akuntabilitas, penegakan hukum yang berjalan malah mencederai rasa keadilan. Sayangnya, persoalan akuntabilitas dalam penegakan hukum di tanah air kerap menjadi sorotan, malahan menjadi pekerjaan rumah yang perlu dibenahi.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati mengatakan akuntabilitas masih menjadi pekerjaan rumah yang belum selesai di bidang penegakan hukum, khususnya pidana. Masalah ini terkait dengan kriminalisasi berlebihan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk moralitas.

Maidina memberikan contoh dalam perkara penyalahgunaan narkotika, pendekatan utama yang digunakan yakni pidana. Menurutnya UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika memberi kewenangan kepada aparat kepolisian untuk melakukan penangkapan dalam jangka waktu yang lama yakni 6 hari. Sayangnya, selama penangkapan tidak ada mekanisme pengawasan yudisial yang tersedia dalam sistem pidana.

“Tidak ada ruang bagi hakim untuk menguji dan memeriksa tindakan yang salah (dalam proses penyidikan,-red) oleh kepolisian,” kata Maidina dalam diskusi panel kegiatan Konferensi Internasional bertema ‘Kebijakan Narkotika’ yang diselenggarakan The Indonesian Center for Drugs Research (ICDR), Unika Atma Jaya, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2), dan The Asia Foundation, Rabu (14/05/2024).

Baca juga:

Absennya ruang pengawasan yudisial dalam sistem pidana, menurut Maidina sudah berjalan sejak era kolonial Belanda. Sistem pidana yang digunakan kolonial Belanda sifatnya diskriminatif, terutama bagi kalangan pribumi. Jaksa tidak independen karena mudah diintervensi pemerintah dengan tujuan mempertahankan kekuasaan kolonial Belanda. Pada masa itu jaksa relatif tidak terlatih dibanding aparat kepolisian dalam penegakan hukum dan berhadapan dengan masyarakat.

“Peran besar kepolisian dalam sistem pidana itu berjalan sampai sekarang,” ujarnya.

Sistem pidana warisan kolonial Belanda itu sebagaimana bisa dilihat dalam KUHAP, mengatur masing-masing lembaga memiliki kewenangan dan tidak ada mekanisme saling uji yakni polisi, jaksa, dan hakim. Dampaknya dirasakan dalam proses penegakan hukum pidana, misalnya perkara penyalahgunaan narkotika.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait