Kebijakan Narkotika Menambah Masalah Akuntabilitas Sistem Pidana di Indonesia
Terbaru

Kebijakan Narkotika Menambah Masalah Akuntabilitas Sistem Pidana di Indonesia

Masa penangkapan 6 hari dalam perkara penyalahgunaan narkotika absen akuntabilitas. Selama masa penangkapan itu tidak dapat diketahui bagaimana kondisi orang yang ditangkap.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Masa penangkapan 6 hari di kepolisian membuka ruang penyalahgunaan kewenangan mulai dari kekerasan, pemerasan, dan perilaku koruptif. Sudah banyak kasus yang menunjukan korban meninggal setelah ditangkap karena mengalami kekerasan dan penyiksaan.

“Selama 6 hari penangkapan itu tidak ada laporan sama sekali. Bahkan sampai muncul istilah ‘tukar kepala’,” bebernya.

Inisiatif terbaru yang berkembang yakni penerapan keadilan restoratif (restorative justice) untuk perkara narkotika. Padahal secara global PBB tidak merekomendasikan kasus penyalahgunaan narkotika melalui restorative justice. Sebab di ranah internasional restorative justice digunakan dalam urusan pidana. Sementara penyalahgunaan narkotika pendekatannya menggunakan kesehatan. Mekanisme restorative justice sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepolisian No.8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif berlangsung dalam 6 hari masa penangkapan.

Menurut Maidina, selama 6 hari masa penangkapan itu tidak ada kewajiban bagi polisi untuk memberikan informasi. Sehingga tidak dapat diketahui bagaimana kondisi orang yang ditangkap. Oleh karenanya pendekatan yang perlu digunakan dalam perkara penyalahgunaan narkotika harus didukung sistem pidana yang akuntabel.

Pengacara publik LBH Masyarakat, Nixon Randy Sinaga, menjelaskan UU 35/2009 mengatur alternatif pidana berupa rehabilitasi medis dan sosial. Tapi pada praktiknya tidak mudah bagi pengguna narkotika untuk mengakses rehabilitasi. Pasal 103-116 UU 35/2009 selama ini dikritik karena unsurnya memuat elemen yang saling tumpang tindih sehingga menghambat akses rehabilitasi tersebut.

Bahkan mantan hakim agung, mendiang Artidjo Alkostar pernah berkomentar pasal 111-112 UU 35/2009 seperti keranjang sampah karena semua bisa ditahan sebab menguasai/memiliki narkotika. “Pengguna narkotika pasti diawali dengan menguasai atau membeli, pasti tidak akan bisa rehabilitasi karena konstruksi pasalnya seperti itu, apalagi ada pidana minimum khusus,” bebernya.

Praktiknya rehabilitasi untuk pengguna narkotika menjadi diskresi aparat penegak hukum. Nixon mengatakan hak untuk rehabilitasi tidak melekat pada tersangka atau terdakwa, tapi kepada penegak hukum. Alhasil intervensi berbasis kesehatan untuk pengguna narkotika itu terkesan setengah hati, harusnya dilakukan secara baik dan optimal untuk menjauhkan pendekatan pidana.

Tapi perlu diingat, tidak semua pecandu narkotika butuh rehabilitasi. Nixon menegaskan tidak ada bukti kuat yang menunjukan rehabilitasi yang sifatnya wajib bisa memberikan dampak positif untuk meningkatkan derajat hidup seseorang. Malah praktik penyiksaan dan pemerasan juga berpotensi terjadi pada proses rehabilitasi sehingga tidak menjawab masalah yang dihadapi pengguna narkotika.

Tags:

Berita Terkait