Jimly: Nilai Budaya Juga Mesti Mendasari Tatanan Hukum Indonesia
Berita

Jimly: Nilai Budaya Juga Mesti Mendasari Tatanan Hukum Indonesia

Jimly mengajak kalangan akademisi atau cendikiawan untuk mengambil tanggung jawab sebagai jembatan intelektual menghubungkan kebudayaannya sendiri dengan karya-karya ilmiah untuk dijadikan rujukan bagi kebijakan umum.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit

 

Karena itu, menurut Guru Besar FHUI ini idealnya perumusan teks-teks konstitusi hendaklah dilakukan dengan kesadaran kebudayaan dan membaca teks-teks konstitusi juga tidak hanya secara (grammatical reading), tetapi juga dengan pembacaan (nilai) kebudayaan (cultural reading).

 

Dia  mencontohkan konstitusi di Inggris tidak memiliki dokumen atau naskah konstitusi yang bersifat tertulis. Namun, sistem pemerintahan di Inggris menyebutnya monarki konstitusional dan negara berkonstitusi. Sama halnya di Thailand sebagai negara yang berkonstitusi.

 

“Konstitusi memang bisa dirubah setiap waktu, tetapi budaya konstitusinya tidak mengalami perubahan, seperti di Thailand. (Makanya) Di Thailand setiap tahun konstitusinya berubah,” kata dia.    

 

Tak kalah penting, bagi Jimly agar gejala importasi dan tranplantasi ide-ide dan nilai konstitusi asing masuk dalam sistem hukum Indonesia perlu ada perspektif baru mengenai hukum tata negara. Karenanya, dia membedakan tiga hal pokok yakni sistem aturan konstitusi (constitutional rules), kelembagaan konstitusi (constitutional structure) dan budaya konstitusi (constitutional culture).

 

“Jangan hanya rules dan structure-nya yang diperhatikan, tetapi persoalan budaya konstitusinya. Sebab, budayalah cermin dalam aturan main bernegara dan budaya juga sesungguhnya membentuk perilaku para individu manusia dalam mempengaruhi sistem institusi bernegaran dan pemerintahan dalam praktik kenyataan,” tegasnya.

 

Dia mengingatkan jangan sampai perguruan tinggi hanya menjadi agen ide-ide tentang kebijakan bernegara yang dituangkan dalam bentuk hukum dan konstitusi. Padahal, ide-ide itu hanya hasil importasi, imitasi, dan transplantasi dari negara lain yang tidak mengenal budaya konstitusi Indonesia sendiri.

 

“Kalangan cerdik cendikia dan para ilmuwan perguruan tinggi harus mengambil tanggung jawab sebagai jembatan intelektual menghubungkan kebudayaannya sendiri dengan karya-karya ilmiah untuk dijadikan rujukan bagi kebijakan umum,” ajaknya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait