Jelimet RKUHP, dari Penentuan Ancaman Pidana hingga Kejahatan HAM Berat
Berita

Jelimet RKUHP, dari Penentuan Ancaman Pidana hingga Kejahatan HAM Berat

Beragam masukan pun dilayangkan, sampai adanya permintaan penundaan pengesahan.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit

 

Hasil riset yang dilakukan aliansi dan ICJR, kata Eras, menemukan dalam isu perbuatan zina, pemerintah menaikkan ancaman hukuman dibandingkan dengan KUHP. Pada RKUHP ancaman hukumannya menjadi 5 tahun penjara. Sedangkan ancaman dalam KUHP hanya ancaman pidana 9 bulan penjara.

 

“Padahal Pengadilan menjatuhkan pidana untuk delik ini rata-rata 3,5 bulan. Ini menunjukkan, pada saat menentukan ancaman pidana, pemerintah tidak memiliki dan melakukan penelitian apalagi evaluasi terkait praktik penjatuhan pidana di pengadilan,” tambahnya.

 

Baca:

 

5 Langkah

Atas dasar itulah aliansi bersama ICJR memberikan rekomendasi 5 langkah yang dapat ditempuh DPR dan pemerintah dalam menentukan besaran ancaman hukuman pidana terhadap semua perbuatan pidana yang diatur dalam RKUHP. Pertama, terhadap delik yang diduplikasi dari KUHP, maka pemerintah dapat menggunakan ancaman yang sama.

 

“Pada dasarnya akar pemidanaan dalam RKUHP masih meniru dari KUHP yang saat ini berlaku,” ujarnya.

 

Kedua, ketika terjadi pemberatan tindak pidana dari delik yang sudah ada dan diatur dalam KUHP, maka patokan delik umumnya, mesti merujuk pada ancaman pidana yang terdapat  dalam KUHP. Ketiga, DPR mesti mendesak pemerintah melakukan penelitian dan evaluasi terhadap praktik penjatuhan pidana di Pengadilan.

 

Nah, hasil penelitian dan evaluasi itu mesti disinkronkan dengan ancaman pidana yang direkomendasikan. Bila hasil penelitian menunjukkan bahwa tuntutan dan putusan pidana selama ini cenderung kecil, maka tidak ada alasan untuk menaikkan ancaman pidana.  Hal tersebut dapat dilihat dari pidana pencemaran nama baik yang ternyata rata-rata penjatuhan pidananya 3 bulan penjara. Begitu pula dengan perbuatan zina, rata-rata ancaman hukuman pidana 3,5 bulan  penjara. “Maka tidak ada alasan pemerintah untuk menaikkan ancaman pidana,” ujarnya.

 

Keempat, DPR dan pemerintah mesti  memaksimalkan serta mengefektifkan dan mengimplementasikan pidana denda dalam RKUHP. Hal tersebut sebagai bentuk jenis hukuman pidana yang dapat menggantikan jenis pidana penjara. Menurutnya, langkah tersebut dalam rangka mengurangi jumlah orang yang masuk ke dalam rumah tahanan dan Lapas.

 

Kelima, pemerintah dan DPR perlu mempertimbangkan khususnya soal beban biaya penegakan hukum. Sebab praktiknya upaya kriminalisasi sebuah perbuatan hanya dilandasi pertimbangan politik daripada beban biaya penegakan hukum. Menurutnya, tanpa melakukan evaluasi dengan memasukkan pertimbangan beban biaya penegakan hukum, maka akan terjadi “kebocoran” APBN untuk upaya penegakkan hukum pidana.

Tags:

Berita Terkait