Jalan Panjang Pemerintah Memenangkan Gugatan di Arbitrase Internasional
Utama

Jalan Panjang Pemerintah Memenangkan Gugatan di Arbitrase Internasional

Menyewa pengacara dalam dan luar negeri, dan mempersiapkan argumentasi yang kuat.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Cahyo R Muzhar (kiri) dan Menkumham Yasonna H Laoly (tengah) menyampaikan kemenangan Indonesia di forum ICSID, Maret lalu. Foto: RES
Cahyo R Muzhar (kiri) dan Menkumham Yasonna H Laoly (tengah) menyampaikan kemenangan Indonesia di forum ICSID, Maret lalu. Foto: RES

Sambungan telepon itu ditutup setelah hampir tiga jam Cahyo Rahadia Muzhar berkomunikasi dengan seorang lawyer asing yang mewakili pemerintah Indonesia di sidang International Center for Settlement of Investment Dispute (ICSID). Ini adalah lembaga arbitrase internasional, berpusat di Washington Amerika Serikat, yang menyelesaikan sengketa perdata termasuk sengketa investasi.

 

Bertahun-tahun Indonesia berjuang melawan gugatan dua perusahaan, yakni perusahaan asal Inggris Churchill Mining, dan anak perusahaannya yang berkedudukan di Australia,  Planet Mining Pty Ltd. Sebagai Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM, Cahyo bersama bosnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, harus menghadapi gugatan kedua perusahaan terhadap Presiden, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Luar Negeri, Kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dan upati Kutai Timur.

 

Komunikasi dengan pengacara pemerintah itu adalah kabar gembira buat Cahyo. Demikian juga Menteri Yasonna, dan lembaga-lembaga pemerintah lain yang digugat. Indonesia lolos dari gugatan. ICSID menolak semua permohonan pembatalan, lazim disebut annulment of the award, yang diajukan para penggugat. Dengan kata lain, Indonesia memenangkan perkara itu. Panel arbitrase No. ARB/12/14 dan ARB/12/40 itu terdiri dari Dominique Hascher, Karl-Heinz Bockstiegel, dan Jean Kalicki.

 

Maka, pada 25 Maret lalu, Yasonna dan Cahyo mengumumkan secara resmi ke publik kemenangan pemerintah Indonesia. Yasonna menyebut kemenangan itu sudah final dan berkekuatan hukum tetap. Tidak ada upaya hokum lagi di ICSID yang dapat ditempuh para penggugat.

 

Dalam wawancara khusus dengan hukumonline, Cahyo Rahadian Muzhar, mengatakan perjalanan kasus ini tak mudah. Butuh waktu sekitar enam tahun berperkara, hingga berita kemenangan itu tiba. Selama itu pula tim hukum Pemerintah harus bolak balik menggelar rapat untuk membahas perkembangan kasus. Yang tak kalah penting, pemerintah Indonesia tak hanya diwakili tim hukum lintas kementerian, tetapi juga menyewa pengacara dalam negeri dan luar negeri.

 

Dari sisi materi, ancaman paling menakutkan sebenarnya adalah tuntutan uang senilai AS$1,3 miliar (setara dengan 18 triliun rupiah). Bayangkan, angka ini satu setengah kali anggaran kementerian Hukum dan HAM, atau 25 kali anggaran Ditjen AHU yang dipimpin Cahyo. Dengan kata lain, ini bukan jumlah yang sedikit jika ICSID mewajibkan pemerintah Indonesia membayar kepada penggugat.

 

(Baca juga: 6 Tahun Bertarung di Arbitrase Internasional, Akhirnya Pemerintah Indonesia Menang)

 

Hukumonline.com

Dirjen AHU Kemenkumham Cahyo Rahadian Muzhar. Foto: RES

 

Bagaimana bersikap?

Cahyo bercerita kepada hukumonline, begitu mengetahui adanya gugatan Churchill Mining dan Planet Mining Pty Ltd, Pemerintah memikirkan bagaimana harus bersikap. “Bagaimana harus bersikap, langkah-langkah apa yang harus diambil,” tuturnya.

 

Respons awal ini merupakan salah satu fase yang cukup strategis untuk menentukan langkah selanjutnya dalam menghadapai sengketa di forum arbitrase. Sebelum memutuskan menerima atau menolak mekanisme arbitrase di ICSID, Cahyo menjelaskan, tim hukum pemerintah saat itu memutuskan untuk terlebih dahulu mempersoalkan kewenangan ICSID dalam sengketa antara kedua belah pihak. Sebelum memasuki pokok perkara, tim hukum pemerintah ingin terlebih dahulu memastikan yurisdiksi ICSID dalam menangani sengketa Churchill dengan pemerintah Indonesia.

 

(Baca juga: Menkumham Minta ICSID Akhiri Gugatan Churchill)

 

Didi Dermawan, salah seorang pengacara Pemerintah Indonesia, menjelaskan pertanyaan mendasar terkait yurisdiksi adalah ada tidaknya kesepakatan dalam perjanjian kedua belah pihak untuk menyelesaikan sengketa di forum arbitrase. Jika dengan Churchill Mining, perjanjiannya berupa Bilateral Investment Treaty (BIT) Indonesia–United Kingdom, maka dengan Planet Mining kesepakatannya berupa BIT Indonesia–Australia.

 

Dalam sidang, Churchill menggunakan persetujuan antara BKPM dengan Churchill terkait jasa pertambangan. Didi menjelaskan kesepakatan terkait jasa pertambangan antara BKPM dan Churcill menurut rezim hukum pertambangan Indonesia tidak dapat disatukan dengan Kuasa Pertambangan yang ada di Indonesia. Jalur masuk perusahaan asing untuk pengelolaan batubara seperti yang dikerjakan oleh Churchill di Indonesia yang ideal adalah melalui Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

 

Churchill masuk ke Indonesia melalui BKPM di bidang jasa usaha pertambangan. Masalahnya, pemerintah Indonesia merasa perseroan ini tidak pernah melakukan usaha bisnis di bidang jasa pertambangan. “Yang dia lakukan adalah beli-beli tambang, ngambil KP (Kuasa Pertambangan). Kan KP kan harus 100 persen lokal. Jadi dia pakai sistem nominee. Jadi masuknya saja sudah tidak benar penyelundupan hukum,” ujar Didi.

 

Menurut Didi, alasan pemerintah mempertanyakan yurisdiksi ICSID lebih karena adanya penyelundupan hukum yang dilakukan oleh Churchill untuk menguasai Kuasa Pertambangan melalui jalur jasa usaha pertambangan. Untuk itu tidak sepatutnya Churchill Mining memperoleh perlindungan berdasarkan persetujuan BIT Indonesia–UK.

 

Hukumonline.com

Didi Darmawan. Ilustrator: BAS

 

Penunjukan Arbiter

Perjuangan lain adalah pemilihan arbiter. Mengingat jumlah arbiter yang harus ganjil juga menjadi diskusi antara kedua belah pihak. Setelah itu masuk ke tahapan penunjukan arbiternya. “Masalah pemilihan arbiter itu adalah sesuatu yang strategis, tidak sekadar kita memilih tapi kan kita harus melihat latar belakang arbiter itu sendiri,” ungkap Cahyo.

 

Penunjukan arbiter yang sesuai dapat memudahkan proses selanjutnya. Latar belakang arbiter menurut Cahyo akan berdampak pada tingkat pemahamannya terhadap situasi para pihak yang tengah bersengketa. Jika arbiter berangkat dari latar belakang negara maju atau tidak. Begitupun dengan jejak rekam selama menjadi arbiter. Kecenderungan membela investor atau negara tempat investasi berlangsung juga menjadi beberapa poin pertimbangan dalam menentukan arbiter.

 

Jika arbiter yang ditunjuk berasal dari negara maju atau minimal tidak pernah menangani negara-negara berkembang yang notabene merupakan karakteristik negara tujuan investasi, akan sulit bagi seorang arbiter tersebut untuk memahami persoalan atau kesulitan-kesulitan negara berkembang. Meskipun pertimbangan tersebut tidak mutlak digunakan, karena sebenarnya ketersediaan arbiter profesional yang berpengalaman menangani sengketa di negara berkembang sudahlah banyak, namun diakui oleh Cahyo, pertimbangan tersebut tetap mewarnai proses penunjukan arbiter.

 

“Latar belakangnya perlu dilihat. Tentu tidak hanya background dari negara maju atau tidak, negara maju tidak apa-apa asal dia bisa memahami situasi dari negara-negara berkembang,” tuturnya.

 

Persoalan penunjukan arbiter ini menjadi krusial mengingat waktu yang diberikan oleh ICSID tidaklah banyak. Jika sampai maksimal waktu yang diberikan para pihak belum juga selesai menunjuk arbiter, maka ICSID sendiri yang akan menunjuk arbiter yang akan menangani sengketa para pihak.

 

(Baca juga: Investasi, Arbitrase, dan Denial of Justice)

 

Cahyo menuturkan sebelum menunjuk arbiter, tim hukum pemerintah terlebih dahulu melakukan riset untuk mengetahui sejumlah informasi. Memetakan perkara yang menempatkan arbiter sebagai pilihan investor atau pilihan negara tujuan investasi. Pengalaman setiap arbiter menangani sengketa berikut cara dan kecenderungan yang saat menangani sengketa. Selain pemerintah juga berdiskusi dengan sejumlah mitra yang berada di beberapa negara untuk memperoleh masukan.

 

Terkait hal ini, sebenarnya arbiter dalam menangani sengketa bersifat independent. Meskipun merupakan pilihan dari pihak yang bersengketa, dalam prosesnya tidak boleh terjadi interaksi yang mengandung interest antara pihak yang bersengketa dengan arbiter yang ditunjuk. Namun menurut Cahyo, penunjukan arbiter yang tepat sangat penting dan dapat menentukan akhir dari keputusan. “Jadi pemilihan arbiter itu penting. Kalau kita tidak meresepons secara tepat maka arbiter itu dipilihkan oleh ICSID”.

 

Penunjukan Lawyer

Selain cerita mengenai proses penunjukan arbiter, ada kisah mengenai penunjukan lawyer yang menurut Cahyo juga tidak mudah. Dari kacamata pemerintah, penting untuk menemukan lawyer yang berpengalaman. Selain itu juga memiliki winning rating dalam membela kepentingan-kepentingan negara tujuan investasi. Pertimbangannya adalah, jika lawyer yang ditunjuk sebelumnya sudah pernah membela negara tujuan investasi maka lawyer tersebut telah memiliki pemahaman terkait situasi klien.

 

“Jadi sebagai lawyer kita harus paham dulu klien kita. Jadi kalau dia sudah terbiasa me -represent negara yang memang sering menjadi tujuan investasi, mereka sudah paham kira-kira masalah dan kekurangannya di mana,” ujar Cahyo.

 

Didi Dermawan, salah satu advokat yang ditunjuk untuk mendampingi tim hukum dari pemerintah bertutur mengenai proses penunjukan advokat. Dirinya sendiri merupakan kuasa hukum pemerintah Kabupaten Kutai Timur yang terlebih dahulu sudah bersengketa dengan Churchill senjak dari tahapan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara, hingga Mahkamah Agung.

 

Mulai dari mengidentifikasi persoalan klaim Churchill atas sejumlah tambang batu bara di wilayah Kabupaten Kutai Timur hingga menemukan bukti pemalsuan tanda tangan, Didi sudah banyak berperan membantu pemerintah Kabupaten.

 

Relasi lama antara Didi dan Bupati Kutai Timur memudahkan proses koordinasi dalam menghadapi sengketa antara Pemerintah Kabupaten dengan Churchill Mining atau Perusahaan Penanaman Modal Asingnya di Indonesia, Ridlatama Group yang mengembangkan proyek East Kutai Coal Project (EKCP) di Kutai Timur. Relasi baik ini mengantarkan Didi ditunjuk menjadi salah satu lawyer pemerintah ke forum ICSID. “Concern saya waktu itu kita harus serius menangani ini. Harus benar-benar tahu. Kita yang tahu yang punya data sejak awal,” ujarnya kepada hukumonline.

 

Didi tidak sendirian dalam membantu Pemerintah menangani sengketa ini. Berdasarkan informasi yang diberikan Didi, pada tahap gugatan pembatalan putusan tribunal lawyer dalam negeri yang ditunjuk pemerintah adalah Soenardi Pardi dari lawfirm Hendra Soenardi. Sedangkan lawfirm asing yang ditunjuk oleh pemerintah membantu menangani sengketa antara pemerintah dengan Churchill Mining adalah Curtis Mallet-Prevost Colt & Mosle, dengan beberapa partner seperti Claudia Frutos-Peterson dan associate-nya Marat Umerov yang bertempat di Washingtn DC; dan partner lainnya Mark O’Donoghue beserta Kevin Meehan di New York. Didi terlibat pada proses awal sidang arbitrase dengan pengacara dari lawfirm Dermawan & Co bersama lawfirm asing yang masih sama, Curtis Mallet-Prevost Colt & Mosle.

 

Sengketa antara Pemerintah dan Churchill Mining ini dipicu oleh pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Ridlatama Group yang 75 persen sahamnya dimiliki oleh Churchill Mining Plc oleh pemerintah daerah, yang dalam hal ini dilakukan Bupati Kabupaten Kutai Timur, Isran Noor. Tidak terima keputusan itu, Churchill menilai Indonesia telah melanggar ketentuan dalam 1976 Agreement Between The Government of The United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland and The Government of The Republic of Indonesia for The Promotion and Protection of Investments antara United Kingdom dengan Indonesia atau juga disebut dengan Bilateral Investment Treaty (BIT).

 

Churchill Mining Plc merasa dirugikan karena izin penambangannya dicabut oleh Bupati Kabupaten Kutai Timur dan tidak mendapatkan kompensasi yang layak, menggugat pemerintah Republik Indonesia –beberapa lembaga pemerintah-- ke ICSID di Washington.

 

Gugatan ini sempat menarik perhatian publik Indonesia karena untuk pertama kalinya presiden Republik Indonesia diajukan sebagai tergugat di peradilan arbitrase internasional atas suatu tindakan yang berada di luar kewenangan dan bahkan di luar pengetahuan pemerintah pusat, yakni tindakan Pemerintah Kabupaten yang secara otonom berwenang mengeluarkan atau membatalkan izin kuasa pertambangan pada tingkat Kabupaten.

Tags:

Berita Terkait