Dalam kasus fixed line, Telkom memiliki produksi yang cukup besar. Namun di sisi lain, tidak sedikit satuan sambungan telepon (SST) yang "menganggur" karena tidak ada peminatnya. Ringkasnya, tidak ada keseimbangan antara permintaan yang ada dengan jumlah prosuksi yang dihasilkan. Padahal sambungan yang menganggur bukanlah sambungan yang dibangun secara gratis.
Akhirnya, Telkom sendiri kewalahan bagaimana manata ulang pembangunan telekomunikasi. Besarnya investasi yang dikeluarkan tidak seimbang dengan keuntungan yang diperoleh, sehingga biaya produksi melonjak. Celakanya, justru pemerintah bersama Telkom "berkolusi" untuk membebankan jumlah kerugian yang diderita Telkom dalam tiga fase kenaikan tarif.
Apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat selaku pengguna, kecuali menerima kebijakan kenaikan tarif. Kesalahan mendasar Telkom dalam pengadaan dan pengembangan telekomunikasi adalah menyediakan atau menawarkan SST dengan harga yang relatif murah.
Menurut sumber hukumonline di Telkom, penyediaan satu SST paling tidak membutuhkan dana kurang lebih AS$1.000. Namun yang terjadi, Telkom "mengobral" SST untuk menggaet masyarakat menggunakan telepon. Kesalahan ini harusnya tidak boleh dibebankan kepada masyarakat.
Akhirnya, hanya Telkom yang mampu menyediakan jasa dan menyelenggarakan telekomunikasi fixed line. Bila ada operator lainnya mungkin hanya mendapatkan kue kecil telekomunikasi dan harus menunggu proses seleksi. Sehingga lumrah jika operator yang ada justru "tahu diri" menyerahkan pasar fixed line hanya pada Telkom.
Karena itu, merupakan langkah cerdas jika operator lainnya seperti Indosat dan Satelindo memilih bermain pada pasar selular. Pada pasar selular, persaingan yang terjadi sangat sempurna. Masing-masing operator menawarkan kualitas jasa yang berbeda. Diperkirakan, pada 2002 ini pasar selular akan mengungguli pasar fixed line.
Tambal sulam kebijakan
Sulit dibayangkan, suatu kompetisi tidak dikoridori oleh undang-undang yang memadai. Cepat atau lambat, kompetisi yang berlangsung akan mengarah pada "penghalalan" segala cara agar bisa menghambat (entry barrier) pelaku usaha lainnya masuk pada bidang usaha sama. Belum lagi kebijakan yang dikeluarkan tambal sulam yang dilakukan berulang-ulang.