Jadi Polemik, PSHK Desak Pembahasan Revisi Keempat UU MK Dihentikan
Utama

Jadi Polemik, PSHK Desak Pembahasan Revisi Keempat UU MK Dihentikan

Perubahan Keempat UU MK dinilai menunjukkan iktikad buruk pembentuk undang-undang. Hal ini dikarenakan perubahan itu disusun melalui proses yang senyap, tertutup, tergesa-gesa, minim partisipasi publik, serta substansinya kental dengan kepentingan politik.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 5 Menit

Keputusan ketatanegaraan yang bersifat signifikan ini, lanjut Fajri, tak seharusnya diambil di masa ini, sebab berpotensi menimbulkan persoalan legitimasi keputusan. Serta, pembahasan dilakukan di masa reses, bukan di masa sidang. Seharusnya, DPR fokus untuk menyerap aspirasi konstituen pada masa tersebut, bukan kebut-kebutan membahas undang-undang yang krusial bagi masa depan kekuasaan kehakiman.

Lalu, persoalan substansi perubahan keempat UU MK, di mana tak berorientasi pada penguatan MK, melainkan untuk membajak independensi MK dan melakukan pengkondisian jajaran hakim konstitusi dengan terlebih dahulu mengeluarkan hakim konstitusi yang tak dikehendaki oleh DPR dan Presiden.

Perubahan Keempat UU MK kembali mengotak-atik masa jabatan hakim konstitusi. Pada UU 7/2020 tentang Perubahan Ketiga UU MK, hakim konstitusi menjabat sampai usia pensiun (70 [tujuh puluh] tahun) dengan maksimal masa jabatan 15 (lima belas) tahun, sedangkan pada Perubahan Keempat UU MK menjadi 10 (sepuluh) tahun. Masa jabatan hakim konstitusi telah melalui tiga perubahan dalam satu dekade terakhir, tetapi tidak terdapat justifikasi yang memadai terkait perubahan tersebut dan tidak dibarengi dengan pengetatan penegakkan etik hakim.

Kemudian Pasal 23A ayat (2), (3), dan (4) Perubahan Keempat UU MK menjadi dasar recall (penarikan kembali) hakim konstitusi dengan mekanisme evaluasi per lima tahun oleh lembaga pengusul. Praktik ini merupakan intervensi semena-mena dari lembaga pengusul dan bukan praktik ketatanegaraan yang wajar. Hal ini dapat menghambat independensi dan imparsialitas kewenangan konstitusional MK, sebab hakim konstitusi akan dependen pada kehendak lembaga pengusul.

“MK merupakan lembaga negara yang memainkan peran checks and balances terhadap kekuasaan eksekutif dan legislatif serta berkedudukan sejajar dengan Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung, bukan bersifat subordinat terhadap lembaga pengusul, sehingga praktik recall tidak dapat dibenarkan,” tegasnya.

Tak hanya itu, dalam pasal 27A Perubahan Keempat UU MK menambahkan personil Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang diusulkan oleh tiga lembaga pengusul. Upaya intervensi terhadap MK tak hanya pada masa jabatan dan penyelenggaraan kewenangan saja, melainkan juga pada lembaga penegak etiknya.

Sementara dalam Pasal 87 Perubahan Keempat UU MK menjadi aturan peralihan untuk menyaring hakim konstitusi incumbent, yaitu dengan mengatur perlunya persetujuan lembaga pengusul bagi: (a) hakim konstitusi yang telah menjabat lebih dari lima tahun dan kurang dari sepuluh tahun untuk melanjutkan masa jabatannya; dan (b) hakim konstitusi yang telah menjabat melebihi sepuluh tahun untuk melanjutkan masa jabatan hingga usia 70 (tujuh puluh) tahun.

Tags:

Berita Terkait