Isu Hubungan Pusat-Daerah dalam UU Cipta Kerja
Kolom

Isu Hubungan Pusat-Daerah dalam UU Cipta Kerja

Tak bisa dipungkiri pula bahwa sentralisasi dalam konteks demokrasi ternyata lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya.

Bacaan 4 Menit

Seperti contohnya dalam UU No.4/2009, kewenangan minerba diatur secara vertikal, pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota punya porsi masing-masing. Namun, dalam UU No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan pemerintah kabupaten/kota direduksi, ditarik menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan pusat. Lalu, UU No.3/2020 menghapus kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam pengelolaan minerba. 

Adapun kelebihan sentralisasi menurut J. In het Veld adalah:

  1. Sentralisasi menjadi landasan kesatuan kebijaksanaan lembaga atau masyarakat.
  2. Sentralisasi dapat mencegah nafsu memisahkan diri dan dapat meningkatkan rasa persatuan.
  3. Sentralisasi meningkatkan persamaan dalam perundang-undangan, pemerintah, dan pengadilan sepanjang meliputi kepentingan seluruh wilayah yang bersifat serupa.
  4. Dalam sentralisasi terdapat hasrat lebih mengutamakan umum daripada daerah, golongan atau perorangan, dan masalah keperluan umum menjadi beban merata dari seluruh pihak.
  5. Tenaga yang lemah dapat dihimpun menjadi satu kesatuan yang besar.
  6. Sentralisasi meningkatkan daya guna dan daya hasil  dalam penyelenggaraan pemerintahan, meskipun hal tersebut belum merupakan suatu kepastian.

Namun, di balik kelebihannya tersebut, tak bisa dipungkiri pula bahwa sentralisasi dalam konteks demokrasi ternyata lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya, di antaranya: (1) menambah beban pemerintah pusat, (2) kegagalan mendapatkan manfaat dari keuntungan tertentu untuk diamankan dari bentuk-bentuk desentralisasi yang berbeda, (3) energi dan waktu yang paling mampu menghilang, (4) hilangnya bahan, perlengkapan, dan personalia yang berketerampilan, (5) ketidakseimbangan pembangunan antara pusat dan daerah, dan (6) menimbulkan kebuntuan di daerah ketika menghadapi masalah yang mendesak dan membutuhkan tindakan cepat.

Pada prinsipnya, tidak ada kewenangan yang absolut. William Pitt menukilkan bahwa unlimited power corrupts the possessor yang berarti kekuasaan tanpa batas mampu melahirkan perbuatan korup bagi pemegangnya. Itu sebabnya, setiap kewenangan dibatasi oleh ruang, waktu, dan subtansi. Pemerintah pusat memiliki keterbatasan yang nyata untuk mengetahui segala macam kepentingan dan kebutuhan masyarakat daerah diseluruh tanah air.

Konflik Agraria

Isu sumberdaya alam adalah isu yang paling sensitif dalam hubungan pusat-daerah. Keberadaan UU Cipta Kerja yang menarik/menghapuskan kewenangan pemerintah daerah adalah bukti penyelenggaraan otonomi daerah yang setengah hati. Pendekatan kekuasaan membuat daerah tidak lebih dari sekedar penonton di rumah sendiri yang menyediakan lahan bagi kepentingan pemerintah pusat dan penanam modal.

Terkonsentrasinya penguasaan sumberdaya alam di tangan segelintir para elit, membuat hubungan antara pusat-daerah menjadi bergejolak. Hal inilah yang menyebabkan meletusnya konflik agraria di Indonesia. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat pada 2019 terdapat 279 letusan konflik agraria dengan melibatkan 420 desa di berbagai provinsi. Akibatnya, angka kemiskinan meningkat, hak-hak masyarakat (terutama masyarakat adat) terpinggirkan, terjadinya kriminalisasi, diskriminasi, dan kerusakan lingkungan di daerah.

Sentralisasi kebijakan sumberdaya alam juga berdampak pada ketidakadilan dalam distribusi manfaat dan keuntungan yang akan diperoleh daerah dari pengelolaan sumberdaya alamnya. Daerah-daerah penghasil sumberdaya alam dan penyumbang terbesar dalam penerimaan negara, justru bukan penerima subsidi terbesar dari pemerintah pusat. Misalnya Riau, penyumbang terbesar APBN dengan rata-rata 32,5%, tetapi hanya menerima bantuan/subsidi paling kecil 0,46% per tahun dari pemerintah pusat (Sri Soemantri:1999).

Tags:

Berita Terkait