Isi Rancangan KUHP Ancam Kebebasan Berekspresi
Berita

Isi Rancangan KUHP Ancam Kebebasan Berekspresi

Enam pulus satu pasal dalam Rancangan KUHP berbuansa mengekang kebebasan berekspresi. Walau dinilai bukan solusi, Menkominfo tengah merevisi UU Pers.

Rzk
Bacaan 2 Menit
Isi Rancangan KUHP Ancam Kebebasan Berekspresi
Hukumonline

 

Lebih lanjut, Hendrayana memandang pengekangan kebebasan berekspresi juga akan membawa dampak pada kemerdekaan pers. RKUHP memuat tiga pasal yakni 737, 738, dan 739 tentang tindak pidana penerbitan dan percetakan atau yang lazim disebut delik pers. Rumusan ketiga pasal itu, cenderung tidak jelas dan memungkinkan terjadi multi tafsir.

 

Sementara itu, Anggota Dewan Pers Leo Batubara mengatakan delik pers dalam RKUHP berarti melanggengkan polemik penerapan UU Pers dan KUHP terhadap kasus-kasus dugaan pelanggaran/tindak pidana pers. Selama ini kalangan pers selalu protes atas perlakuan aparat hukum yang masih menggunakan KUHP dalam menindak insan pers yang diduga melakukan pelanggaran. Padahal, sejak 1999 telah lahir aturan yang lebih khusus (lex specialis) bagi kalangan pers, yakni UU No. 40 Tahun 1999. They love KUHP more than UU Pers, kritik Leo.

 

Menurutnya, desain RKUHP yang tetap mengkriminalisasi pers adalah bentuk penolakan penguasa terhadap kontrol pers. Leo menilai rumusan RKUHP justru lebih mengkhawatirkan dibandingkan KUHP yang berlaku sekarang. Ia mencontohkan konsep pidana tambahan dalam RKUHP berupa pencabutan hak menjalankan profesi tertentu. Ketentuan ini dipandangnya sebagai campur tangan negara yang berlebihan karena pencabutan hak menjalankan profesi merupakan domain organisasi profesi yang bersangkutan.

 

UU Pers direvisi?

Rudy Satriyo Mukantardjo, pengajar Hukum Pidana FHUI, berpendapat polemik penerapan KUHP dengan UU Pers tidak terlepas dari kelemahan UU Pers itu sendiri. UU Pers, sebagaimana disebutkan dalam aturan peralihan, membuka peluang penerapan aturan lain sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru.

 

Lalu, apakah solusinya revisi UU Pers? Rudy dengan tegas menjawab tidak, karena permasalahan utamanya adalah kurang sosialisasi terhadap aparat penegak hukum. Kalau perlu, bahkan perlu dibuat suatu nota kesepahaman antara kalangan pers dengan aparat hukum tentang penerapan UU Pers. Yang terjadi adalah ketidakpahaman aparat hukum sehingga mereka tidak menggunakan UU Pers, sambungnya.

 

Leo sependapat dengan Rudy, seraya menilai perubahan justru diperlukan di tingkat konstitusi. Dasarnya fakta sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang tidak memiliki UU Pers karena pijakan konstitusinya cukup kuat untuk menjamin kemerdekaan pers.

 

Namun, Leo membantah kritik Rudy tentang kurangnya sosialisasi UU Pers. Pasalnya, Dewan Pers sudah upaya-upaya sosialisasi, diantaranya dengan melobi Ketua MA dan menggelar audiensi dengan polisi, jaksa, dan hakim di 20 provinsi di Indonesia.

 

Penolakan Rudy dan Leo berbeda dengan kenyataan yang ada. Pasalnya, Pemerintah melalui Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) saat ini tengah mencanangkan revisi UU Pers. Dalam rangka itu, Pemerintah bekerja sama dengan Lembaga Kajian Hukum Telematika (LKHT) FHUI telah melakukan kajian awal.

 

Kajian tersebut mengarah pada kriminalisasi pers dan kembalinya campur tangan pemerintah, kata Leo yang mengaku sudah mempelajari hasil kajian tersebut. Sementara itu, Rudy menegaskan bahwa kajian tersebut tidak melibatkan ahli-ahli hukum pidana FHUI.

Reformasi yang bergulir sejak runtuhnya rezim Orde Baru ternyata tidak berarti kebebasan berekspresi di negeri ini terjamin sepenuhnya. Masa depannya pun ditenggarai akan semakin suram. Kondisi ini setidaknya tergambar dalam naskah Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang saat ini tengah digodok.

 

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers berdasarkan penelitiannya menyimpulkan RKUHP mengandung pembatasan kebebasan berekspresi. Parameternya adalah sejumlah pasal yang bernuansa pengekangan kebebasan berekspresi. LBH Pers mengidentifikasi pasal-pasal yang dimaksud berjumlah 61 pasal atau sekitar 8,2% dari total 741 pasal RKUHP.

 

Pasal RKUHP yang mengancam kebebasan berekspresi

Topik

Pasal

Pencabutan hak menjalankan profesi tertentu

91

Penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme

212, 213

Peniadaan dan penggantian ideologi Pancasila

214

Menyembunyikan atau membuka rahasia negara dan pengkhianatan terhadap negara

221, 222, 229, 230, 232

Penghinaan terhadap Presiden/Wakil Presiden, Kepala Negara sahabat dan wakil Kepala Negara sahabat, penodaan bendera, lagu kebangsaan dan lambang negara sahabat, penghinaan terhadap Pemerintah

265, 266, 271, 272, 273, 274, 283, 284, 285

Pernyataan perasaan bermusuhan terhadap kelompok tertentu

287

Penghasutan untuk melawan penguasa umum

288, 289

Penawaran untuk melakukan tindak pidana

291, 292

Penyiaran berita bohong dan berita yang tidak pasti

307, 308

Penyesatan proses pengadilan

327

Penghinaan terhadap agama

341, 344

Penghasutan untuk meniadakan keyakinan terhadap agama

340

Mengakses komputer dan sistem elektronik tanpa hak

376, 377

Penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara

405, 406

Pengrusakan maklumat negara

421

Pelanggaran kesusilaan di muka umum

467

Pornografi

468, 469, 470, 471, 472, 472

Mempertunjukkan pencegahan kehamilan dan pengguguran kandungan

481, 482, 483

Pencemaran nama baik

529

Fitnah

530,531

Penghinaan ringan

532, 533

Pengaduan fitnah

534, 535

Persangkaan palsu

536

Pencemaran orang mati

538, 539

Tindak pidana pembocoran rahasia

540, 541, 542, 543

Tindak pidana penerbitan dan pencetakan

737, 738, 739

 

Ketentuan tersebut menurut Direktur Eksekutif LBH Pers Hendrayana bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM nasional maupun internasional. Ia menunjuk Pasal 28F UUD 1945 yang tegas menyatakan setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

 

Secara paradigmatik, tidak ada perbedaan prinsip antara KUHP warisan kolonial dan RKUHP, masih menggunakan paradigma represif, ujarnya ketika memandu acara diskusi ‘Meluruskan Arah dan Paradigma Perubahan KUHP' (12/2).

Tags: