Onheelbare Tweespalt dalam Doktrin dan Yurisprudensi
Bahasa Hukum:

Onheelbare Tweespalt dalam Doktrin dan Yurisprudensi

Ketika perkawinan sudah tidak bisa dipertahankan lagi, onheelbare tweespalt menjadi salah satu dasar untuk mencari jalan keluar.

Mys
Bacaan 2 Menit

Upaya Halimah mempersoalkan onheelbare tweespalt kandas setelah Mahkamah Konstitusi pada 12 Maret 2012 memutuskan menolak permohonan yang diajukan Halimah. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan frasa ‘antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran’ justeru memberikan salah satu jalan keluar ketika suatu perkawinan tidak lagi memberikan kemanfaatan karena perkawinan sudah tidak lagi sejalan dengan tujuan perkawinan sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan tidak lagi memberikan kepastian dan keadilan hukum seperti disebut dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945.

Jika terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus suami – isteri, sehingga sulit diharapkan bersatu kembali, maka menurut Mahkamah, ikatan batin dalam perkawinan dianggap telah pecah (broken marriage). Meskipun ikatan lahir masih ada, tetapi ikatan batin sudah pecah. Perkawinan yang demikian tidak bermanfaat lagi bagi kedua belah pihak, bahkan bisa membahayakan masing-masing. “Dalam keadaan yang demikian, hukum harus memberikan jalan keluar untuk menghindari keadaan buruk yang tidak diinginkan (saddu al dzari’ah).

Sebelum putusan Mahkamah Konstitusi tersebut keluar, sudah banyak putusan Mahkamah Agung (MA) yang menyinggung onheelbare tweespalt. Putusan MA No. 105 K/Sip/1968 tanggal 12 Juni 1968 misalnya membuat suatu norma: “Bukan semata-mata tak ada persesuaian paham antara suami isteri, melainkan perselisihan paham dan ketidakcocokan sedemikian rupa sehingga berdasarkan asas umum keadilan dan kepatutan tak dapat lagi dipertanggungjawabkan untuk dilanjutkan, karena sudah tak ada kerukunan”.

Putusan MA No. 534 K/Pdt/1996 menegaskan bahwa yang harus dilihat adalah apakah perkawinan itu masih dapat dipertahankan atau tidak. Berdasarkan putusan MA No. 1020 K/Pdt/1986, jika keterangan saksi-saksi menguatkan terjadinya perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk rukun, maka gugatan perceraian dapat dikabulkan.

Ada beberapa putusan lain yang relevan untuk dikemukakan berkaitan dengan alasan onheelbare tweespalt.

Keadaan mendesak

Putusan MA No. 500 K/Sip/1971,  Gunarto alias Bhe Tjiauw Hok vs Soenarti alias Liem Giok Nio, menegaskan bahwa Pasal 209 BW yang berlaku bagi golongan Tionghoa tidak mencantumkan onheelbare tweespalt. Namun sesuai yurisprudensi tetap, alasan tersebut dapat dipakai untuk menuntut perceraian bagi mereka yang tunduk pada BW.

Majelis hakim kasasi --R. Sardjono, Sri Widojati Soekito, dan Indroharto – berpendapat meskipun onheelbare tweespalt  dalam pasal 209 BW tidak tercantum sebagai alasan perceraian, namun dalam keadaan mendesak dimana kedua belah pihak tidak dapat diharapkan lagi akan melanjutkan hidup bersama sebagai suami isteri, Undang-Undang memungkinkan diputuskannya perkawinan dengan perceraian. Dalam hal ini onheelbare tweespalt merupakan keadaan mendesak.

Halaman Selanjutnya:
Tags: