Inul Vs Rhoma dalam Perspektif UU Hak Cipta
Kolom

Inul Vs Rhoma dalam Perspektif UU Hak Cipta

Inul Daratista, 'Sang Bintang' kembali beraksi. Setelah meluncurkan album perdananya yang bertajuk Inul Bergoyang, kini Inul kembali menjadi berita. Pelantun dangdut yang memiliki nama asal Ainul Rokhimah dan sempat diulas dua halaman oleh majalah internasional Times, ini mendapat gelar Ratu Ngebor . Suatu julukan yang diberikan atas gaya goyangnya yang seperti ngebor saat melantunkan tembang. Kini, Sang Ratu menuai protes dari Raja Dangdut, Rhoma Irama, selaku ketua Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia (PAMMI).

Bacaan 2 Menit

 

Ada dua otoritas yang berhak menafsirkan erotis. Pertama, pencipta lagu (yang melarang lagunya untuk dinyanyikan oleh orang tertentu dengan tarian yang dinilainya erotis). Kedua, hakim dalam kaitannya erotis yang termasuk dalam kategori tindak pidana kesopanan, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Keduanya bisa saja menilai sama. Namun, bukan tidak mungkin memiliki penilaian yang berbeda atas kadar erotis.

 

Hak pencipta lagu untuk menafsirkan erotis atau tidak tersebut terlahir dari hak 'derivatif'-nya selaku pencipta sekaligus pemegang hak cipta yang memiliki hak khusus untuk mengumumkan (dalam hal ini untuk dinyanyikan) oleh penyanyi tertentu. Dengan demikian, 'larangan' Rhoma dkk tersebut absah dari perspektif hak cipta dan bukan dalam lingkup erotis secara hukum pidana. Rhoma dkk. memiliki hak melarang Inul untuk melantunkan tembang ciptaan mereka dengan gayaeErotis versi Rhoma. Meskipun, sangat mungkin apabila dibawa ke pengadilan tidak termasuk erotis yang melanggar KUHP.

 

UU Hak cipta memberikan hak mengumumkan tersebut kepada pencipta atau pemegang hak cipta secara absolut, sepanjang yang tidak termasuk dalam hal pembatasan oleh hukum. Misalnya, untuk kepentingan negara, pendidikan, dan ilmu pengetahuan. 

 

Padahal, tarian gaya ngebor a la Inul tersebut bisa saja termasuk dalam kategori obyek hak cipta yang dilindungi Undang-Undang. Yakni, sebagai karya cipta tari (koreografi), sebagaimana dimaksud pasal 11 ayat 1 huruf e UU HCL atau pasal 12 ayat 1 hurug e UU HCB. Dengan catatan, apabila gaya ngebor tersebut tidak termasuk yang melanggar tindak pidana kesopanan sebagaimana diatur KUHP. 

 

Secara hukum pidana positif, seseorang telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap kesopanan (tarian yang erotis) sebagaimana dimaksud pasal 281 KUHP adalah apabila telah ada keputusan hakim di pengadilan yang telah mempunyai keputusan tetap. Dengan kata lain, otoritas penafsir bahwa seseorang telah melakukan goyangan erotis yang termasuk dalam pelanggaran hukum adalah terletak pada sang hakim.

 

Penilaian Rhoma atas goyang ngebor adalah bukan otoritasnya dalam kategori erotis yang diatur KUHP. Rhoma hanya dapat menjalankan perannya selaku warga negara dalam kategori pelapor apabila goyang ngebor Inul dianggap atas dugaanya bahwa sang Ratu Ngebor telah melakukan tindak pidana. Itu pun apabila dia melaporkannya kepada kepolisian. Sebab, meski tindak kejahatan terhadap kesopanan bukanlah termasuk dalam kategori delik aduan, nampaknya polisi tidak menganggap goyang ngebor Inul dalam kategori melanggar KUHP.

 

Buktinya, kita saksikan bersama di TV, saat sang ratu bergaya dengan goyang ngebor-nya di hadapan ribuan penggemarnya, justru yang menjaga keamanannya adalah pihak yang berwajib. Namun ditegaskan sekali lagi, bahwa sang polisi pun bukanlah otoritas yang punya kewenangan menilai suatu tarian melanggar KUHP atau tidak, melainkan hakim.

Halaman Selanjutnya:
Tags: