Inul Vs Rhoma dalam Perspektif UU Hak Cipta
Kolom

Inul Vs Rhoma dalam Perspektif UU Hak Cipta

Inul Daratista, 'Sang Bintang' kembali beraksi. Setelah meluncurkan album perdananya yang bertajuk Inul Bergoyang, kini Inul kembali menjadi berita. Pelantun dangdut yang memiliki nama asal Ainul Rokhimah dan sempat diulas dua halaman oleh majalah internasional Times, ini mendapat gelar Ratu Ngebor . Suatu julukan yang diberikan atas gaya goyangnya yang seperti ngebor saat melantunkan tembang. Kini, Sang Ratu menuai protes dari Raja Dangdut, Rhoma Irama, selaku ketua Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia (PAMMI).

Bacaan 2 Menit

 

Dengan kata lain, hak Rhoma dkk tersebut merupakan hak 'derivatif' (turunan, yakni timbul karena sebagai pencipta) yang diberikan oleh UU HCL bagi pencipta dalam rangka kewenangan mengumumkan ciptaannya. Hal penting untuk diperhatikan adalah konsekuensi hukum yang akan ditanggung oleh penyanyi yang melanggar larangan pencipta lagu, yakni tetap menyanyikan lagu ciptaan dengan tarian tertentu yang dilarang penciptanya. Apakah ancaman gugatan perbuatan melawan hukum, sebagaimana diatur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata saja, ataukah ada peraturan lain?

 

Berdasarkan UU HC (pasal 41 ayat 1 UU HCL atau pasal 72 UU HCB) memberikan ancaman sanksi pidana penjara dan/atau denda bagi pihak yang mengumumkan suatu hak (karya) cipta tanpa hak. Dengan demikian, seorang penyanyi yang dilarang menyanyikan lagu ciptaan seseorang dengan gaya tarian tertentu (meskipun mungkin tidak melanggar norma kesusilaan dan kesopanan yang telah mendapatkan keputusan pengadilan yang tetap) dan kemudian sang penyanyi melanggar larangan sang pencipta, maka terkena ancaman sanksi pidana penjara dan/atau denda.

 

Seluas itukah penafsiran pengadilan di Indonesia atas hak cipta? Penulis masih menyangsikannya. Selain itu juga, ditilik dari sejarah dan filosofi hak cipta, nampaknya lebih pada perlindungan agar pencipta memperoleh keuntungan ekonomis dari karya cipta sang pencipta. Hak cipta, diperkenalkan, bukan dalam rangka memberi kewenangan absolut yang tidak berkaitan dengan hak ekonomi sang pencipta. Hal ini didukung dengan perubahan kompetensi penyelesaian sengketa hak cipta yang diperkenalkan dalam UU HCB, yakni dalam kompetensi pengadilan niaga.

 

UU Hak Cipta di Indonesia tidak secara tegas mewajibkan kepada pihak yang melakukan pengumuman atas karya cipta dan mendapatkan keuntungan ekonomis atas pengumuman tersebut untuk memberikan semacam royalti atau imbalan dalam jumlah yang wajar (tertentu) kepada sang pencipta atau pemegang hak cipta. Sebenarnya, apabila diatur demikian, dapat diatur secara khusus bagi pelanggar ketentuan tersebut 'cukup' dikenakan ancaman denda saja ataukah perlu ancaman pidana. Dengan tidak adanya aturan khusus tersebut, otomatis ancaman sanksi pidana penjara masih mungkin dikenakan.

 

Jelasnya, dalam hal ini UU Hak Cipta tidak mewajibkan bagi penyanyi yang menyanyikan lagu atau pihak lainnya yang memperoleh keuntungan ekonomis untuk memberikan royalti atau imbalan kepada pencipta lagu yang telah dinyanyikannya. Tidak adil bukan? Sebab, penyanyi tidak mungkin bisa menerima bayaran atas aksi panggungnya tanpa lantunan lagu yang diciptakan sang pencipta.

 

Bayangkan, konon Inul bisa menerima honor sekitar Rp10 juta sampai Rp15 juta untuk satu lagu yang dilantunkannya (Majalah Tempo Edisi 5-11 Mei 2003). Sementara hukum tidak mewajibkan Inul untuk memberikan royalti dalam persentase tertentu (jumlah yang wajar) dari imbalan yang diterimanya kepada sang pencipta lagunya.

 

Otoritas penafsir moral

 

Persoalan yang menarik untuk dikaji adalah justru kewenangan untuk menafsirkan bahwa siapakah yang punya otoritas untuk menafsirkan bahwa gaya tarian seseorang erotis. Apakah ini melekat pada sang pencipta lagu secara absolut dan mutlak, atau ada pada otoritas badan peradilan.

Halaman Selanjutnya:
Tags: