Inkonsistensi Putusan PTUN Pembatalan SK Suhartoyo, Majelis Banding Harus Progresif
Terbaru

Inkonsistensi Putusan PTUN Pembatalan SK Suhartoyo, Majelis Banding Harus Progresif

Posisi hakim banding harus mampu melihat persoalan yang mendera MK. Mencari solusi, bukan sekedar menyalahkan absennya aturan tentang mekanisme pemberhentian Ketua atau Wakil Ketua MK.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Aan menjelaskan dalam UU No.7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi MK tidak ada aturan tentang mekanisme pemberhentian Ketua dan Wakil Ketua. Substansi yang diatur hanya pemberhentian sebagai hakim konstitusi sehingga terjadi kekosongan hukum. Jika menggunakan logika putusan PTUN Jakarta ini maka harus dilakukan mekanisme pemberhentian Anwar Usman dari Ketua MK. Padahal Surat Keputusan (SK) pemberhentian itu diterbitkan oleh Ketua MK.

“Apa iya Anwar Usman mengeluarkan SK untuk memberhentikan dirinya sendiri sebagai Ketua MK, kalau begini pasti tidak akan terlaksana,” urainya.

Hal itu yang membuat putusan PTUN Jakarta ini menurut Aan tidak punya asas keadilan dalam perspektif substantif. Berbeda dengan perkara Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari dimana putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) merekomendasikan Presiden Joko Widodo untuk melakukan pemecatan. Mekanisme pemecatan Ketua KPU RI itu juga jelas aturannya. Putusan PTUN Jakarta yang absen keadilan substantif membuat blunder bagi citra hukum itu sendiri.

Bagi Aan, arah putusan PTUN Jakarta juga tidak jelas apakah memenangkan Anwar Usman karena tidak mengembalikan jabatannya sebagai Ketua MK. SK pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK juga dibatalkan. Sehingga putusan PTUN Jakarta ini tidak memiliki asas kemanfaatan bagi MK.

Putusan PTUN Jakarta membuat kelembagaan MK menjadi tidak jelas karena karena Anwar Usman sebagai Ketua MK yang lama tidak dikembalikan jabatannya dan Suhartoyo Ketua MK terpilih malah dibatalkan SK pengangkatannya. Akibatnya putusan PTUN Jakarta ini menimbulkan kekosongan hukum yang tak jelas juntrungannya.

Kepada hakim Pengadilan TUN Jakarta yang nanti menangani perkara banding putusan ini Aan berpesan untuk mencermati kekosongan hukum yang ditimbulkan dari putusan PTUN Jakarta. Penting diingat perspektif hakim tak hanya mengejar kepastian hukum, sebab hukum yang ada saat ini tidak memberikan kepastian sehingga ketika dipaksakan untuk diterapkan malah keadilan tak akan tercapai. Logika putusan PTUN Jakarta bisa berlaku jika dalam kondisi normal yakni ada aturan dan mekanisme yang jelas soal pemberhentian Ketua dan Wakil Ketua MK.

Tapi faktanya proses pemberhentian Anwar Usman sebagai Ketua MK merupakan hasil dari persidangan etik yang dilakukan MKMK. Untuk memecah persoalan ini seharusnya hakim bisa menemukan hukum, bukan malah menyebut pemecatan Anwar Usman tidak sah karena mekanisme pemberhentian tidak belum ada aturannya.

Tags:

Berita Terkait