Ingin Menggunakan e-Rekap, KPU Pelajari Pengalaman Negara Lain
Berita

Ingin Menggunakan e-Rekap, KPU Pelajari Pengalaman Negara Lain

Tetapi sifatnya hanya pelengkap. Bukan mengantikan hasil dari kertas (pengitungan manual).

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

Selain Pakistan, Peter menceritakan pengalaman Kenya dalam menggunakan teknologi untuk menghitung hasil pemungutan suara. Di Kenya, pada tahun 2013, publik Kenya menggunakan handphone. Baru pada 2017 Kenya menggunakan tablet sebagai alat bantu. “Penggunaan tablet tidak hanya pada saat memilih tapi juga registrasi dan identifikasi pemilih,” terang Peter.

Ia mengisahkan latar belakang pengunaan teknologi di Kenya. Bermula dari krisis pasa Pemilu di tahun 2008 yang mana ratusan orang meninggal dunia akibat krisis tersebut sehingga di tahun 2009 muncul rekomendasi penggunaan teknolgi sebagai alat bantu. Meski begitu, Peter menyebutkan masih terdapat hambatan dalam penggunaan teknologi ini. Pada Pemlu 2013, ternyata masih banyak hambatan yang dihadapai seperti kegagalan teknologi. Di tahun 2017 pelaksanaannya pun masih banyak kendala yang di hadapi. “Walaupun di 2016 mereka telah merancang teknologi yang akan digunakan tapi di 2017 masih juga banyak kendala. Sehingga persoalan di 2013 masih juga berulang,” ujarnya.

Tantangan yang dihadapi oleh Kenya saat itu misalnya timleine yang sangat padat, hambatan dari segi SDM, ujicoba yang tidak cukup, koneksi yang tidak memadai, ada aturan yang bertentangan, ketidak jelasan penggunaan metode manual atau elektronik, serta banyaknya disinformasi atau hoax.

Lain di Kenya, lain juga di Belanda. Jauh lebih dulu, Belanda menggunakan teknologi sebagai alat bantu dalam Pemilu.  Di Belanda, tahun 1998 pertama kali menggunakan elektronik voting. Kemudian pada tahun 2007, terdapat protes dari sejumlah aktivis yang mempersoalkan aspek keamanan sistem sehingga pada tahun 2008 Belanda kembali menggunakan sistem lama tanpa bantuan teknologi.  “Mereka menggunakan semuanya paper (manual). Teknologi menjadi suport dari kerja mereka”.

Begitu juga pada Pemilu di Amerika Serikat pada 2017. Persoalan yang kurang lebih sama terkait keamanan sistem mencuat di Maerika Serikat. Untuk itu aktivis di US menyebutkan bahwa teknologi yang digunakan tidaklah terlalu aman. Karena itu mereka lebih sepakat jika teknologi hanya menjadi bagian dari support. “Walaupun sudah berlangsung 10 tahun mereka masih ragu menggunakan e voting,” ungkap Peter.

(Baca juga: Dorong e-Rekap Jadi Mekanisme Resmi Penentuan Hasil Pilkada, KPU Siapkan Sejumlah Hal).

Untuk itu, sebelum sampai pada tahap implementasi, Peter menyebutkan ada sejumlah hal yang perlu dipersiapkan untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap teknologi yang digunakan. Keamanan sistem harus bisa dijamin serta tingkat pemahaman sistem yang mesti dimiliki oleh publik menjadi salah satu kunci. Untuk itu, menurut Peter, jika Indonesia hendak menggunakan metode ini, ada yang perlu dilakukan. “Lakukan dengan catatan, menguji terlebih dahulu, pelajari, verifikasi, memastikan keamanannya, dan dikomunikasikan ke publik,” urai Peter.

Ketua KPU Arief Budiman menyebutkan, selama 5 kali Pemilu di Indonesia, telah menjadikan teknologi sebagai alat bantu. Pada Pemilu 2019 bahkan KPU sudah menyempurnakan penggunaan teknologi yang digunakan. Data yang berhasil dihimpun dari hasil Situng misalnya sebanya 99,5 persen. Sementara untuk pemilu legislatif sebanyak 98,3 persen. “Trend ini menunjukkan pemilu kita makin siap didukung menggunakan teknologi informasi terutama situng,” ujar Arief.

Tags:

Berita Terkait