Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengecam sikap Kejaksaan Agung yang menolak menyidik kasus Trisakti dan Semanggi. Penolakan itu dinilai sebagai ancaman serius bagi penegakan hak asasi manusia.
Pandangan Kontras itu dikeluarkan menanggapi pernyataan Kepala Satgas HAM Kejaksaan Agung BR Pangaribuan. Pada 11 Maret lalu, Pangaribuan menyatakan bahwa Kejagung telah mengambil sikap final, yaitu tidak dapat menindaklanjuti penyelidikan Komnas HAM dalam kasus Trisakti dan Semanggi. Alasannya, DPR sudah memutuskan bahwa tidak ditemukan pelanggaran HAM berat pada peristiwa tersebut.
Kejagung merasa terhalang oleh dalil hukum bahwa satu kasus tidak dapat diadili dua kali (nebis in idem) mengingat perkara penembakan mahasiswa Trisakti telah diputus mahkamah militer pada 1999 lalu.
Peradilan militer yang telah dilangsungkan merupakan peradilan pidana yang sama sekali tidak menyentuh para penanggung jawab komando, sebagaimana lazim diterapkan dalam kasus kejahatan kemanusiaan.
Asas nebis in idem jelas dapat diabaikan mengingat subjek dan pasal yang dituduhkan adalah berbeda. Peradilan militer bersifat ordinary crime, sementara kasus pelanggaran berat adalah extra-ordinary crime. Hal itu juga diatur dalam pasal 20 Statuta Roma yang menjadi dasar pembentukan peradilan HAM.
Kesimpulan DPR
Namun, Kontras menganggap argumen Kejagung itu lebih sebagai upaya justifikasi untuk tidak melaksanakan fungsinya. "Rekomendasi DPR tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum," ujar Koordinator Kontras, Ori Rahman.
Dikatakan Ori, DPR hanya memiliki kewenangan untuk mengusulkan terbentuknya pengadilan HAM berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan. DPR sebagai lembaga politik tidak berhak untuk menilai tidak adanya peristiwa pelanggaran HAM berat pada kasus Trisakti dan Semanggi. "Kejaksaan Agung telah mencampuradukkan persoalan formalitas dan substansi hukum antara pidana militer dan pelanggaran HAM berat," ujarnya.