Indonesia Ajukan Revisi BIT dengan Inggris
Berita

Indonesia Ajukan Revisi BIT dengan Inggris

BIT kerap dijadikan landasan investor menggugat arbitrase pemerintah tujuan investasi.

INU
Bacaan 2 Menit

Seperti diketahui, pemerintah Indonesia beberapa kali digugat investor asal Inggris di arbitrase internasional. Semisal gugatan Rafat Ali Rizvi pada pemerintah Indonesia di arbitrase International Centre for Settlement of Investment Disputes (ISCID) yang ada di Singapura.

Rafat menilai, kebijakan pemerintah untuk melakukan bail out Bank Century dinilai menyimpang dan tidak lazim. Kebijakan penyelamatan bank yang kini berganti menjadi PT Bank Mutiara Tbk, Rp6,7 triliun tersebut dinilai telah membuatnya kehilangan saham investasi di Bank Century.

Gugatan Rafat di ISCID Singapura kandas pada 16 Juli 2013. Arbiter ISCID untuk gugatan ini menerima eksepsi pemerintah dan menolak mengadili  perkara yang diajukan Rafat. Salah satu pertimbangannya yakni investasi yang dilakukan pemohon di Indonesia tidak memiliki izin pemerintah, karena itu BIT menolak memberi perlindungan.

Kemudian gugatan ke ISCID di Washington diajukan Churchill Mining Plc. Perusahaan tambang asal Inggris itu melayangkan gugatan arbitrase terhadap Pemerintah Indonesia  karena berang atas dicabutnya izin Kuasa Pertambangan (KP) yang diakui miliknya oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Bupati Kutai Timur Isran Noor mengatakan, gugatan ini berawal dari pencabutan lima KP di daerah Kutai Timur. Churchill mengklaim, empat dari lima KP itu milik Grup Ridlatama yang merupakan anak usahanya. Pencabutan ini, kata Isran, dilakukan atas rekomendasi Pemerintah Pusat berdasarkan hasil temuan BPK pada September 2008.

Dijelaskan Isran, dari laporan audit khusus yang dilakukan BPK ditemukan adanya lima KP palsu yang terbit pada 2006-2008. Palsunya lima KP yang saat ini disebut Izin Usaha Pertambangan (IUP) ini bisa dilihat dari kode penomoran yang terbalik serta mendapatkan surat keterangan dari Menteri Kehutanan kepada Irsan Noor selaku Bupati Kutai Timur terkait dengan kegiatan empat perusahaan yang tergabung dalam Grup Ridlatama untuk melakukan penambangan di atas kawasan hutan produksi.

Meski demikian, tutur Amir, Inggris sebagai negara asal investor kelima terbesar di Indonesia, 90 persen menyatakan puas berinvestasi di Indonesia. “Sisanya mengharapkan perbaikan iklim investasi yang semakin kondusif di Indonesia,” paparnya.

Tags:

Berita Terkait