Indonesia Ajukan Revisi BIT dengan Inggris
Berita

Indonesia Ajukan Revisi BIT dengan Inggris

BIT kerap dijadikan landasan investor menggugat arbitrase pemerintah tujuan investasi.

INU
Bacaan 2 Menit
Indonesia Ajukan Revisi BIT dengan Inggris
Hukumonline

Perjanjian bilateral investasi (Bilateral Investment Treaty/BIT) menjadi perhatian banyak negara-negara berkembang. Karena begitu mudahnya BIT dijadikan landasan bagi investor menggugat pemerintah dimana dia menanamkan modal ke arbitrase internasional jika merasa dirugikan oleh kebijakan setempat.

Pemerintah Indonesia juga mengalami hal serupa. Karena itu, saat mengunjungi salah satu negara asal investor kelima terbesar di Indonesia, yaitu Inggris, delegasi Menteri Hukum dan HAM (Kemenkumham) Amir Syamsuddin menyampaikan pada sejumlah menteri yang ditemui untuk meninjau kembali BIT dengan Inggris.

Kunjungan Menkumham ke salah satu negara berbentuk monarki itu dilakukan pada 30 Juli 2013 – 2 Agustus 2013. “Pemerintah menilai BIT tak lagi dapat mengakomodir kepentingan kedua negara,” terang Amir di hadapan wartawan, Selasa (6/8).

Dia menambahkan kepentingan kedua negara kini semakin berkembang. seperti kerjasama yang dilakukan saat memproses ekstradisi Rafat Ali Rizvi, salah satu terpidana kejahatan perbankan sekaligus mantan pemegang saham PT Bank Century Tbk ke Indonesia agar dapat menjalankan pidana penjara sesuai putusan pengadilan di Indonesia.

Menurut Amir, keinginan pemerintah Indonesia dimaksudkan pula agar tersedia landasan kerjasama lebih seimbang bagi kedua negara. Maupun keseimbangan dalam konteks host state (negara tuan rumah) dengan investor. Hal ini, lanjut Amir bertujuan untuk mencegah dimanfaatkannya celah hukum dari BIT oleh ‘investor nakal’.

Hanya saja, papar Amir, keinginan Indonesia tak langsung dapat dijawab pemerintah Inggris. Karena, Inggris terikat dengan perjanjian Uni Eropa, bahwa perjanjian bilateral investasi mesti mendapat persetujuan organisasi itu. Tapi, lanjut Amir, pemerintah Inggris berjanji untuk meneruskan keinginan pemerintah Indonesia pada Uni Eropa.

Menurut Direktur Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya, Kementeria Luar Negeri, Kadir Jaelani pemerintah Indonesia memang harus melakukan itu. Apalagi, menurutnya saat ini ada kecenderungan bagi investor untuk menggugat ke arbitrase pemerintah tujuan investasi. “Ini menjadi perhatian negara berkembang, termasuk Indonesia,” tuturnya kepada hukumonline, Senin (12/8).

Seperti diketahui, pemerintah Indonesia beberapa kali digugat investor asal Inggris di arbitrase internasional. Semisal gugatan Rafat Ali Rizvi pada pemerintah Indonesia di arbitrase International Centre for Settlement of Investment Disputes (ISCID) yang ada di Singapura.

Rafat menilai, kebijakan pemerintah untuk melakukan bail out Bank Century dinilai menyimpang dan tidak lazim. Kebijakan penyelamatan bank yang kini berganti menjadi PT Bank Mutiara Tbk, Rp6,7 triliun tersebut dinilai telah membuatnya kehilangan saham investasi di Bank Century.

Gugatan Rafat di ISCID Singapura kandas pada 16 Juli 2013. Arbiter ISCID untuk gugatan ini menerima eksepsi pemerintah dan menolak mengadili  perkara yang diajukan Rafat. Salah satu pertimbangannya yakni investasi yang dilakukan pemohon di Indonesia tidak memiliki izin pemerintah, karena itu BIT menolak memberi perlindungan.

Kemudian gugatan ke ISCID di Washington diajukan Churchill Mining Plc. Perusahaan tambang asal Inggris itu melayangkan gugatan arbitrase terhadap Pemerintah Indonesia  karena berang atas dicabutnya izin Kuasa Pertambangan (KP) yang diakui miliknya oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Bupati Kutai Timur Isran Noor mengatakan, gugatan ini berawal dari pencabutan lima KP di daerah Kutai Timur. Churchill mengklaim, empat dari lima KP itu milik Grup Ridlatama yang merupakan anak usahanya. Pencabutan ini, kata Isran, dilakukan atas rekomendasi Pemerintah Pusat berdasarkan hasil temuan BPK pada September 2008.

Dijelaskan Isran, dari laporan audit khusus yang dilakukan BPK ditemukan adanya lima KP palsu yang terbit pada 2006-2008. Palsunya lima KP yang saat ini disebut Izin Usaha Pertambangan (IUP) ini bisa dilihat dari kode penomoran yang terbalik serta mendapatkan surat keterangan dari Menteri Kehutanan kepada Irsan Noor selaku Bupati Kutai Timur terkait dengan kegiatan empat perusahaan yang tergabung dalam Grup Ridlatama untuk melakukan penambangan di atas kawasan hutan produksi.

Meski demikian, tutur Amir, Inggris sebagai negara asal investor kelima terbesar di Indonesia, 90 persen menyatakan puas berinvestasi di Indonesia. “Sisanya mengharapkan perbaikan iklim investasi yang semakin kondusif di Indonesia,” paparnya.

Tags:

Berita Terkait