Imunitas Profesi dalam Perspektif Hukum Pidana
Utama

Imunitas Profesi dalam Perspektif Hukum Pidana

Upaya mengungkap pelanggaran etika juga menyangkut kepentingan masyarakat.

Muhammad Yasin
Bacaan 5 Menit

Zulkarnain juga risau melihat pembuktian dalam sidang etika yang justru berusaha mengaburkan bukti kuat terjadi tindak pidana. Dengan kata lain, hasil sidang etika justru mempersulit atau menghambat proses pemeriksaan pokok perkara. Sidang kode etik dipergunakan untuk ‘mencegah’ seseorang penyandang profesi hukum diproses lebih lanjut ke pengadilan. Dalam jangka pendek, profesi hukum perlu memperkuat lembaga pengawas yang sudah ada dan menjalankan fungsinya secara transparan dan akuntabel. Jika pun ada informasi pribadi yang seharusnya dirahasiakan, sidang kode etik dapat dilakukan tertutup sepanjang menyangkut informasi rahasia tersebut. Selebihnya, sidang kode etik seharusnya dilakukan secara transparan. Dalam jangka panjang, Zulkarnain menyarankan pembentukan peradilan khusus etika bagi aparat hukum. “Perlu ada peradilan etik khusus,” usulnya.

Iktikad baik

Dalam diskusi dosen-dosen hukum pidana juga mencuat persoalan iktikad baik dalam konteks profesional hukum yang dihadapkan langsung ke proses hukum tanpa melalui sidang etika. Pasal 16 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyatakan ‘advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan. Penjelasan pasal ini menyebutkan iktikad baik adalah menjaankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya.

Pertanyaan sederhananya, apakah jika seseorang membela kliennya termasuk dengan cara melanggar hukum seperti memberikan suap kepada orang lain dapat dianggap sebagai iktikad baik? Apakah batasan-batasan iktikad baik itu? Apapula parameternya? Iktikad baik telah menjadi ukuran atau standar dalam beragam hukum, termasuk kontrak.

Rocky Marbun mengkritisi bagaimana menafsirkan dan membuktikan iktikad baik itu oleh hakim di pengadilan. Misalkan, profesi advokat yang dituduh melakukan perbuatan melawan hukum. Si advokat mengklaim bahwa dirinya menjalankan profesi dengan iktikad baik. Penilaian akhir terhadap iktikad baik ini ada di tangan hakim. Persoalannya, parameter apa yang dipakai untuk menyatakan seorang advokat beriktikad baik atau tidak beriktikad baik.

Dalam konteks yang lebih luas, dosen hukum pidana Universitas Sumatera Utara, Mahmud Mulyadi, juga menyinggung frasa ‘iktikad baik’ dalam Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan (sudah disahkan menjadi UU No. 2 Tahun 2020).

Frasa iktikad baik dimuat dalam Pasal 27 ayat (2). Rumusan lengkapnya begini: “Anggota KKSK, Sekretaris KKSK, anggota secretariat KKSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, OJK, serta Lembaga Penjaminan Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Perppu ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud iktikad baik dalam pasal ini. Menurut Mahmud Mulyadi, iktikad baik dalam perspektif pidana mengarah pada alasan menghapus pidana atau kesalahan. Rumusan yang dikutip memungkinkan ada pelanggaran pidana, tetapi tidak dapat dituntut karena ada iktikad baik. Persoalannya, apa parameter yang dipergunakan untuk mengukur iktikad baik itu? Jika tidak ada parameter yang jelas, Mahmud khawatir penegakan hukum tergantung pada selera masing-masing. “Saya khawatir mudah diselewengkan” ujarnya. “Saya ingin antara (penegakan) hukum dan etika itu selaras”, sambungnya.

Tags:

Berita Terkait