Ijin Operasi Pertambangan di Areal Hutan Masih Kontroversi
Berita

Ijin Operasi Pertambangan di Areal Hutan Masih Kontroversi

Enam perusahaan pertambangan dapat beroperasi di areal kehutanan. Namun, pemberian izin tersebut dikhawatirkan bisa menabrak UU Kehutanan. Departemen Kehutanan sendiri mengusulkan terobosan teknologi ramah lingkungan bagi pertambangan di hutan lindung.

Rep
Bacaan 2 Menit

Ketiga lokasi itu adalah PT Weda Bay seluas 90.020 hektare yang berlokasi di kelompok hutan G. Mirarong-G. Tabobo, Kabupaten Maluku Utara; PT Nusa Halmahera seluas 398.600 hektare yang berlokasi di hutan Bukit Gauraja-Bukit Saolat, Kabupaten Halmahera Tengah; PT Gag Nikel seluas 13.140 hektare berlokasi di Pulau Gag, Kabupaten Sorong, Papua.

Ketiga, dapat dilakukan pertambangan karena terletak pada hutan produksi terbatas (HPT), hutan produksi (HP), dan areal penggunaan lain (APL). Tiga perusahaan termasuk kategori ini, yaitu PT Galuh Cempaka seluas 3.920 hektare, lokasi di Propinsi Kalimantan Selatan; PT Jorong Barutama Greston seluas 14.720 hektare, lokasi Papua; PT Barisan Tropical Mining, seluas 12.160 hektare, lokasi Sumatera Selatan.

Padahal, PT Galuh Cempaka, misalnya, sudah mendapat penolakan dari Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia (YCHI) Kalimantan Selatan. Pasalnya, Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) perusahaan yang beroperasi di Banjarbaru itu dinilai tidak jelas.

Preseden buruk

Dephut berdalih bahwa kegiatan pertambangan dapat dilaksanakan terlebih dahulu di lokasi pertambangan yang ijin lokasinya berada pada HPT dan HP. Sementara pengalaman beroperasi di kawasan HP dan HPT akan merupakan barometer untuk mendapatkan kepercayaan publik secara luas bagi perusahaan-perusahaan tadi, sehingga perluasan ke arah hutan lindung dapat dilakukan kemudian melalui proses reskoring.

Sikap Dephut yang 'melunak' sebenarnya mengherankan. Pasalnya, dari awal Dephut termasuk pihak yang "menolak" memberi izin kepada perusahaan pertambangan bermasalah. Departemen yang dipimpin M. Prakosa inilah yang memegang mandat UU Kehutanan.

Justru, instansi terkait lain getol meminta agar izin tersebut segera diloloskan pemerintah. Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, (ESDM) Purnomo Yusgiantoro, misalnya, menyarankan agar UU Kehutanan direvisi saja untuk mengatasi hambatan investasi di bidang pertambangan.

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengkhawatirkan pemberian izin pertambangan bagi perusahaan-perusahaan yang selama ini dinilai bermasalah dari segi kelestarian lingkungan. Menurut JATAM, pemberian izin tersebut menabrak ketentuan yang tercantum dalam UU Kehutanan. Lokasi perusahaan-perusahaan tersebut ditengarai  menyentuh kawasan hutan lindung.

Tags: