idEA Minta RPP E-Commerce Segera Dievaluasi
Berita

idEA Minta RPP E-Commerce Segera Dievaluasi

Selama dua tahun wacana RPP ini bergulir, asosiasi tidak pernah diberikan akses terhadap draf dokumen.

FAT
Bacaan 2 Menit

Hal ini dikarenakan regulasi pada bidang telekomunikasi telah mewajibkan dan menerapkan KYC terhadap pengguna nomor telepon. Alasan lainnya, lantaran hingga saat ini belum ada sarana yang disediakan pemerintah agar PTPMSE dapat melakukan verifikasi identitas para pedagang dan konsumen.

Keempat, terkait perizinan berlapis yang dinilai asosiasi dapat menghambat pertumbuhan industri E-Commerce. Seperti, adanya tanda daftar khusus, izin khusus perdagangan melalui sistem elektronik dan sertifikat keandalan. Menurut idEA, adanya kekosongan dari peraturan pelaksana terkait masing-masing perizinan tersebut akan menimbulkan ketidakjelasan yang tak kondusif bagi pelaku bisnis E-Commerce Indonesia.

Dan alasan terakhir, terdapat beberapa bagian RPP yang bertentangan dengan aturan hukum lainnya. Seperti, hukum pengangkutan yang menganut asas tanggung jawab berdasarkan kesalahan atau fault liability. Bahwa, setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam menyelenggarakan pengangkutan harus bertanggung jawab mengganti rugi atas segala kerugian yang timbul dari kesalahan tersebut, pihak yang dirugikan wajib membuktikan kesalahan pengangkut. Tapi dalam matriks RPP E-Commerce, tanggung jawab tersebut ada di PTPMSE.

Sedangkan bertentangan dengan aturan lain berkaitan dengan perlindungan konsumen. Selama ini UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen membagi penyelesaian sengketa menjadi beberapa bagian, yakni penyelesaian sengketa perdata di pengadilan, penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan, penyelesaian perkara secara pidana dan penyelesaian perkara secara administratif.

Tetapi, dalam matriks RPP E-Commerce dikenal adanya penyelesaian sengketa melalui online. Padahal penyelesaian sengketa ini tidak dikenal oleh UU Perlindungan Konsumen dan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian Sengketa. “Pandangan yang kami sampaikan ini masih perlu dielaborasi lagi. Kami berharap pihak Kemendag dapat memberikan perpanjangan waktu agar kami dapat memberikan masukan yang substansial dan terbaik bagi dokumen yang sangat krusial terhadap masa depan industri E-Commerce nasional ini,” tutup Daniel Tumiwa selaku Ketua Umum idEA.

Sebelumnya, dalam naskah draf RPP E-Commerce yang diperoleh hukumonline, diatur kewajiban pelaku usaha untuk memiliki tanda daftar khusus sebagai pelaku usaha transaksi perdagangan melalui sistem elektronik. Hal tersebut tertulis pada Pasal 18 RPP. PTPMSE dan pedagang yang memiliki sistem transaksi melalui elektronik wajib memiliki izin khusus perdagangan elektronik dari menteri. Izin ini juga berlaku bagi pedagang dan PTPMSE yang melakukan kegiatan usaha di dalam wilayah hukum Indonesia.

Sedangkan penyelenggara sarana perantara tidak perlu izin dari menteri jika bukan merupakan pihak yang mendapatkan manfaat (beneficiary) atau tidak terlibat langsung dalam hubungan kontraktual para pihak yang melakukan transaksi perdagangan melalui sistem elektronik. Izin usaha sebagai penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi merupakan domain kewenangan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Sedangkan izin penyelenggaran sarana dan aplikasi perdagangan merupakan domain kewenangan Kemendag.

Tags:

Berita Terkait