idEA Minta RPP E-Commerce Segera Dievaluasi
Berita

idEA Minta RPP E-Commerce Segera Dievaluasi

Selama dua tahun wacana RPP ini bergulir, asosiasi tidak pernah diberikan akses terhadap draf dokumen.

FAT
Bacaan 2 Menit
Ketua IdEA, Daniel Tumiwa. Foto: www.idea.or.id
Ketua IdEA, Daniel Tumiwa. Foto: www.idea.or.id

[Versi Bahasa Inggris]

Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang E-Commerce kembali mendapatkan kritikan. Kali ini, kritikan datang dari Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA). Bahkan, idEA telah menyampaikan pandangannya kepada Kementerian Perdagangan (Kemendag) terkait matriks RPP.

Selama ini, idEA menilai Kemendag tidak transparan dalam menyusun RPP tersebut. Bahkan, selama dua tahun wacana ini bergulir, asosiasi tidak pernah diberikan akses terhadap draf dokumen. Matriks yang diberikan Kemendag kepada idEA, dirasa tidak komprehensif.

“Padahal sangat penting untuk mengevaluasi keseluruhan dokumen secara utuh,” demikian isi siaran pers idEA yang diterima hukumonline, Rabu (1/7).

Setidaknya, terdapat sejumlah alasan atau substansi yang membuat idEA berpikir agar pengesahan RPP tidak dilakukan dalam waktu dekat. Asosiasi telah menyurati Kemendag, dan berharap agar kementerian memperpanjang waktu dari tujuh hari menjadi 30 hari. “Hingga release ini diturunkan, Kemendag belum menjawab apakah permohonan perpanjangan waktu tersebut dikabulkan.”

Setidaknya, ada enam poin dari isi RPP yang dinilai idEA perlu dievaluasi lagi. Pertama, berkaitan dengan kejelasan batasan dan tanggung jawab pelaku usaha yang terlibat dalam transaksi E-Commerce, yang mencakup pedagang, penyelenggara transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (PTPMSE) dan penyelenggara sarana perantara. Padahal, dalam industri E-Commerce mempunyai beberapa tipe model bisnis. Sehingga, lingkup tanggung jawabnya perlu dibedakan menurut model bisnis masing-masing.

Kedua, berkaitan dengan kesetaraan penegakan aturan terhadap pelaku usaha yang berkedudukan di dalam wilayah Indonesia dan luar negeri. Menurut idEA, jika pemerintah tidak dapat melakukan enforcement yang seimbang kepada pelaku usaha asing yang berada di luar wilayah Indonesia, pengguna internet tentu dapat menggunakan solusi lain yang tak diatur oleh hukum Indonesia. Sayangnya, tidak dijelaskan apa yang dimaksud solusi lain tersebut.

Berikutnya, berkaitan dengan kewajiban untuk memiliki, mencantumkan dan menyampaikan identitas subjek hukum. Seperti KTP, izin usaha, nomor SK pengesahan badan hukum atau yang dikenal know your customer (KYC). Mengenai hal ini, idEA mengusulkan agar KYC hanya cukup dengan data nomor telepon.

Hal ini dikarenakan regulasi pada bidang telekomunikasi telah mewajibkan dan menerapkan KYC terhadap pengguna nomor telepon. Alasan lainnya, lantaran hingga saat ini belum ada sarana yang disediakan pemerintah agar PTPMSE dapat melakukan verifikasi identitas para pedagang dan konsumen.

Keempat, terkait perizinan berlapis yang dinilai asosiasi dapat menghambat pertumbuhan industri E-Commerce. Seperti, adanya tanda daftar khusus, izin khusus perdagangan melalui sistem elektronik dan sertifikat keandalan. Menurut idEA, adanya kekosongan dari peraturan pelaksana terkait masing-masing perizinan tersebut akan menimbulkan ketidakjelasan yang tak kondusif bagi pelaku bisnis E-Commerce Indonesia.

Dan alasan terakhir, terdapat beberapa bagian RPP yang bertentangan dengan aturan hukum lainnya. Seperti, hukum pengangkutan yang menganut asas tanggung jawab berdasarkan kesalahan atau fault liability. Bahwa, setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam menyelenggarakan pengangkutan harus bertanggung jawab mengganti rugi atas segala kerugian yang timbul dari kesalahan tersebut, pihak yang dirugikan wajib membuktikan kesalahan pengangkut. Tapi dalam matriks RPP E-Commerce, tanggung jawab tersebut ada di PTPMSE.

Sedangkan bertentangan dengan aturan lain berkaitan dengan perlindungan konsumen. Selama ini UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen membagi penyelesaian sengketa menjadi beberapa bagian, yakni penyelesaian sengketa perdata di pengadilan, penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan, penyelesaian perkara secara pidana dan penyelesaian perkara secara administratif.

Tetapi, dalam matriks RPP E-Commerce dikenal adanya penyelesaian sengketa melalui online. Padahal penyelesaian sengketa ini tidak dikenal oleh UU Perlindungan Konsumen dan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian Sengketa. “Pandangan yang kami sampaikan ini masih perlu dielaborasi lagi. Kami berharap pihak Kemendag dapat memberikan perpanjangan waktu agar kami dapat memberikan masukan yang substansial dan terbaik bagi dokumen yang sangat krusial terhadap masa depan industri E-Commerce nasional ini,” tutup Daniel Tumiwa selaku Ketua Umum idEA.

Sebelumnya, dalam naskah draf RPP E-Commerce yang diperoleh hukumonline, diatur kewajiban pelaku usaha untuk memiliki tanda daftar khusus sebagai pelaku usaha transaksi perdagangan melalui sistem elektronik. Hal tersebut tertulis pada Pasal 18 RPP. PTPMSE dan pedagang yang memiliki sistem transaksi melalui elektronik wajib memiliki izin khusus perdagangan elektronik dari menteri. Izin ini juga berlaku bagi pedagang dan PTPMSE yang melakukan kegiatan usaha di dalam wilayah hukum Indonesia.

Sedangkan penyelenggara sarana perantara tidak perlu izin dari menteri jika bukan merupakan pihak yang mendapatkan manfaat (beneficiary) atau tidak terlibat langsung dalam hubungan kontraktual para pihak yang melakukan transaksi perdagangan melalui sistem elektronik. Izin usaha sebagai penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi merupakan domain kewenangan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Sedangkan izin penyelenggaran sarana dan aplikasi perdagangan merupakan domain kewenangan Kemendag.

Tags:

Berita Terkait