ICW Sinyalir 7 Persoalan Faktor Melemahnya IPK
Terbaru

ICW Sinyalir 7 Persoalan Faktor Melemahnya IPK

Seperti sibuknya presiden cawe-cawe dalam urusan politik, ketimbang melakukan pembenahan hukum, hingga masifnya gelombang korupsi di sektor politik belakangan terakhir.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
anggota Divisi Korupsi Politik, Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. Foto: istimewa
anggota Divisi Korupsi Politik, Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. Foto: istimewa

Selang beberapa bulan jelang rampungnya masa pemerintahan Presiden Joko Widodo nasib pemberantasan korupsi di tanah air makin mengkhawatirkan. Setidaknya indeks persepsi korupsi (IPK) yang diluncurkan Transparency International Indonesia menunjukan skor tahun 2023 mengalami stagnasi dibandingkan tahun sebelumnya.

Indonesia memperoleh skor 34 dan peringkatnya merosot dari 110 menjadi 115,” ujar anggota Divisi Korupsi Politik, Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana melalui keterangan tertulisnya, Selasa (30/1/2024).

Bila ditarik saat kali pertama Joko Widodo menjabat sebagai presiden pada 2014 silam, skor IPK kala itu sama dengan kondisi hari ini. Kondisi tersebut menunjukan sepanjang 9 tahun pemerintahan Joko Widodo tidak memiliki kontribusi berarti dalam agenda pemberantasan korupsi. Malahan cenderung membawa kemunduran yang signifikan.

Merujuk situasi stagnansi pemberantasan korupsi di Indonesia, setidaknya ICW memetakan 7 persoalan yang ditengarai menjadi faktor melemahnya IPK. Pertama, Presiden Jokowi dinilai lebih sibuk ‘cawe-cawe’ dalam urusan politik, ketimbang melakukan pembenahan hukum. Padahal situasi Indonesia kini memiliki setumpuk tunggakan legislassi yang diyakini dapat menyokong agenda pemberantasan korupsi.

Baca juga:

Seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset Tindak Pidana, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, hingga Revisi UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan menyesuaikan norma konvensi PBB Melawan Korupsi. Alih-alih dikerjakan, Presiden malah larut dengan nuansa politik dan melupakan janji politik penguatan pemberantasan korupsinya. 

Kedua, Presiden lepas tanggung jawab terhadap situasi yang amat mengkhawatirkan di KPK. Kesimpulan ini bukan tanpa dasar. Sebab Pasal 3 UU No.19 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah meletakkan Presiden sebagai atasan administratif lembaga antirasuah itu. Oleh karena itu buruknya tata kelola di kelembagaan KPK, presiden mestinya mengambil tindakan cepat.

Tags:

Berita Terkait