ICW Sayangkan Rendahnya Kesadaran Publik Awasi Pengadaan Barang Jasa
Berita

ICW Sayangkan Rendahnya Kesadaran Publik Awasi Pengadaan Barang Jasa

Berdasarkan data dari penindakan kasus korupsi di Indonesia, kasus-kasus korupsi banyak terjadi ketika pengadaan dilakukan secara elektronik.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit

 

"Karena kami lihat pengawasan internal efektif bila inspektorat jenderal juga efektif. Salah satunya melalui Open Tender ini kami sudah melakukan penelitian agar Open Tende efektif di Kemendibud, Kemendagri dan Kemenkumham tapi sekali lagi budaya kerja belum berubah sehingga teknologi bukan memudahkan tapi kembali ke pola lama yang butuh energi yang banyak. Ini tantangan kita bagaimana mendorong pemanfaatan teknologi dalam mengawasi kerja-kerja pemerintah agar lebih efektif," jelas Adnan.

 

(Baca: BPK Minta Kementerian Lembaga Tindaklanjuti Rekomendasi Soal Temuan LKPP)

 

Apalagi menurut Adnan, berdasarkan data dari penindakan kasus korupsi di Indonesia, kasus-kasus korupsi malah banyak terjadi ketika pengadaan dilakukan secara elektronik.

 

"Ini bukan hanya memprihatinkan tapi bertolak belakang dengan tujuan sistem pengadaan barang dan jasa secara elektronik. Ada apa? Sudah diupayakan mengubah sistemnya tapi ternyata koruptornya lebih pintar, mengakali sistem itu. Kajian perlu dikembangkan untuk melihat di mana kelemahannya dan bagaimana membuat solusi pendekatan baru yang efektif," tegas Adnan.

 

Senada dengan Adnan, Kepala LKPP Roni Dwi Susanto menyatakan bahwa 42 persen kasus korupsi yang ditangani penegak hukum adalah mengenai pengadaan barang dan jasa.

 

"Per bulan kami mendapat 50 pengaduan, tapi baru ditangani 20 persen. Hal itu karena kualitas pengaduannya kurang, bagaimana supaya masyarakat dapat mudah mengadukan setidaknya 5W1H (apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, bagaimana) kejadiannya dan bukti pengaduannya apa, sangat penting mengedukasi masyarakat," kata Roni dalam acara yang sama.

 

Berdasarkan data LKPP, dari nilai belanja barang dalam APBN terus meningkat yaitu Rp2.080,5 triliun (2017), Rp2.220 triliun (2018) dan Rp2.461 triliun (2019) dengan jumlah paket pengadaan 2,228 juta paket (2017), 2,357 juta paket (2018) dan 2,987 juta paket (2019).

 

Namun dari jumlah belanja tersebut, yang sudah menggunakan transaksi melalui elektronik pada 2018 baru Rp391,9 triliun dengan rincian e-tanderin senilai Rp337,1 triliun (116.650 paket) dan e-purchasing Rp54,8 triliun (375.021 paket). Jumlah tersebut hanya 37,7 persen dari total belanja barang/jasa pada 2018 senilai Rp1.040 triliun.

Tags:

Berita Terkait