Ichtijanto: UU Perkawinan Akui Pluralitas Hukum Agama
Terbaru

Ichtijanto: UU Perkawinan Akui Pluralitas Hukum Agama

Kasus-kasus perkawinan antara pasangan yang berbeda agama dari tahun ke tahun hampir selalu muncul ke permukaan. Memang, umumnya kasus-kasus yang mencuat adalah yang melibatkan orang-orang terkenal (public figure). Padahal, sudah tentu kasus-kasus serupa yang tidak terekam oleh media jumlahnya jauh lebih banyak.

Bacaan 2 Menit

Hindu, misalnya. Hindu itu tidak mungkin. Sebab dalam agama Hindu, perkawinan hanya sah kalau dilaksanakan oleh pedande. Dan pedande hanya melaksanakan perkawinan kalau kedua-duanya Hindu. Jadi kalau beda agama, beda hukumnya, pedande tidak mau melaksanakan. Namun, ada pemecahan. Yang tidak Hindu itu di-"sudhi"-kan, di-Hindukan.

Di Bali berkembang kaidah, perkawinan yang beda agama atau perkawinan campuran itu dilaksanakan menurut 'asas purusa'. Jadi, kalau bahasa sederhananya asas apa yang ditanam. Jadi kalau kita menanam padi menurut aturan penanaman padi. Menanam pohon kelapa menurut aturan pohon kelapa. Kalau menanam padi pakai aturan pohon kelapa ya tidak beres. Jadi, menurut aturan hukum suami.

Selain Hindu, Islam melarang perkawinan wanita Islam dengan laki-laki bukan muslim dan Islam melarang perkawinan laki-laki Islam dengan wanita musyrik. Tapi dalam Islam, laki-laki Islam dibolehkan kawin dengan wanita kitabi. Rasyid Ridha mengatakan wanita kitabi itu wanita yang beragama.

Dalam Katolik, dalam hukum Kanonik diatur bahwa perkawinan yang Katolik dengan yang non-Katolik itu pada dasarnya tidak sah. Hanya bisa sah kalau ada dispensasi dari kardinal. Dan kardinal hanya bisa memberikan dispensasi dengan syarat-syarat tertentu.

Sedangkan, Kristen dan Budha pada umumnya tidak melarang pemeluknya untuk kawin dengan penganut agama lain.

Khusus terkait dengan Islam sebagai agama yang paling banyak dianut di Indonesia, bukankah ada fatwa MUI yang melarang tidak hanya wanita muslim menikah dengan pria bukan muslim, namun juga bagi pria muslim untuk menikah dengan wanita bukan muslim?

Menurut saya, fatwa itu kurang tepat untuk kehidupan masyarakat Indonesia yang plural. Di mana umat Islam merupakan umat terbanyak. Kalau menurut saya, kembalilah kepada Quran surat al-Maidah ayat 5 yang mengatakan "Pada hari ini (hari Arafah) dihalalkan bagimu yang baik-baik, makanan orang ahlul kitab itu bagimu. Wanita mukminah dan wanita ahlul kitab halal untuk kamu".

Jadi, kita kembali pada Quran untuk mengembangkan kehidupan bersama di Indonesia dan dapat terlaksananya perkawinan laki-laki Islam dengan wanita penganut agama lain.

Jadi menurut Anda, ketentuan dalam UU Perkawinan sama sekali tidak bertentangan dengan kandungan pasal 29 UUD 1945?

Saya berpendirian UU Perkawinan itu mengatur - bukan melarang - dengan baik perkawinan lintas agama. Hanya saja pemahaman orang-orang berbeda. Pemahaman yang cocok adalah pemahaman yang relevan dan sejalan dengan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 bahwa negara menjamin kemerdekaan penduduk untuk memeluk agamanya dan kepercayannya itu.

Itu yang relevan. Karena itu perkawinan beda agama itu boleh, diberikan kebebasan, dan diatur. Hukum positif mengatur perkawinan itu dilaksanakan menurut hukum suami.

Saya memberikan persyaratan-persyaratan dalam kaitannya dengan perkawinan beda agama. Pertama, perkawinan beda agama itu jangan dilihat sebagai suatu upaya mengagamakan orang lain. Kawin ya kawin, tapi tidak boleh memaksa harus memeluk agamanya. Dan orang harus tolerans terhadap istrinya atau suaminya yang beda agama.

Tapi kan banyak problematik lainnya seperti bagaimana status anak yang lahir dari pasangan yang berbeda agama, hingga masalah waris?

Karena perkawinan itu mempengaruhi hubungan keluarga dan hukum waris, maka memang yang akan kawin beda agama itu harus berpikir panjang. Dan dia memang harus berani menghadapi resiko-resiko yang sulit. Mereka akan menghadapi persoalan fundamental yang berat. Karena itu, ulama-ulama menganjurkan untuk jangan kawin dengan beda agama.

Bagaimana Anda memandang fenomena perkawinan WNI yang beda agama di luar negeri?

Saya kira betul, perkawinan yang dilaksanakan di luar negeri itu suatu penyelundupan hukum atau upaya untuk merekayasa untuk mengatasi keadaan di dalam negeri. Kalau menurut saya, yang benar adalah pemahaman terhadap perkawinan campuran itu harus betul.

Dengan pemahaman dalam kaitannya tidak boleh memaksakan agama, diberikan kebebasan beragama, dilaksanakan menurut hukum suami, ada perkawinan campuran antar WNI yang beda agama. Itu harus dipahami betul. Karena itu, harusnya Kantor Catatan Sipil dan Kantor Urusan Agama seharusnya melayani dengan prisnsip-prinsip hukum yang benar.

Perkawinan di luar negeri itu tidak sama. Di luar negeri itu, ada perkawinan yang memperhatikan hukum agama dan ada perkawinan yang hanya pencatatan saja. Menurut hukum Indonesia, kalau perkawinan di Indonesia itu hanya pencatatan saja, maka itu belum sah. Ada asas nasionalitas di dalam perkawinan itu pasti dilanggar.

Sebab menurut hukum Indonesia, perkawinan itu harus sah menurut hukum agamanya dan harus dicatat menurut hukum yang berlaku. Nah kalau di luar negeri itu hanya dicatat saja, kan hukum agamanya tidak dilaksanakan.

Lalu, kita juga melihat modus lainnya seperti melangsungkan perkawinan dua kali, yaitu pertama menurut hukum agama suami kemudian hukum agama isteri, atau juga sebaliknya. Bagaimana dengan yang ini?

Nikah dua kali itu tidak menurut hukum. Sebab menurut hukum manapun, tidak ada menikahkan dua kali itu. Tidak ada aturan hukum untuk menikahkan orang yang sudah suami isteri. Tiap-tiap sistem hukum pasti mengakui sistem hukum lain.

Apa implikasi hukumnya?

Perkawinan yang kedua itu tidak betul. Yang diakui hanya perkawinan yang pertama.

Melihat demikian tidak sederhananya persoalan ini, apa pesan Anda sebagai orang yang pernah mendalami masalah ini kepada masyarakat luas?

Menurut saya, bagi para pemuda yang ingin kawin campur dan berbeda agama itu hati-hatilah, pikirlah panjang-panjang. Sebab, perbedaan agama merupakan perbedaan yuang fundamental. Namun kalau memang Anda sudah cinta betul, dan cintanya itu sampai buta dan lalu mengabaikan agama, ya itu hak saudara.

Cuma saya mengharapkan, dikembangkanlah pengertian yang lebih baik. Dan dikembangkanlah kesadaran berbeda. Kalau saudara ingin kawin dengan pasangan yang beda agama, kembangkanlah lapang dada Anda, pikiran luas Anda, dan jangan sampai cinta buta. Agama perlu diperhatikan.

(Amr/Tri/APr)

Tags: