Haatzai Artikelen, Delik Mati yang Terus Coba Dihidupkan
Utama

Haatzai Artikelen, Delik Mati yang Terus Coba Dihidupkan

Melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, MK telah membatalkan pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Pasal 207 sendiri adalah pasal yang mengatur terkait penghinaan terhadap penguasa dan pejabat pemerintahan. “Barang siapa dengan sengaja dimuka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah,” demikian bunyi Pasal 207 KUHP. 

 

Menurut Rizqi, konsekuensi dari delik aduan yang terdapat pada Pasal 207 adalah presiden baru bisa melaporkan adanya tindakan masyarakat jika dugaan penghinaan tersebut berhubungan langsung dengan diri presiden, bukan menyangkut jabatannya. 

 

“Pasal 207 itu segala sesuatu penghinaan terhadap presiden atau pejabat itu adalah bagaimana presiden itu tidak suka terhadap kritikan dalam konteks terhadap dirinya sendiri bukan konteks jabatan makanya bentuknya delik aduan bukan delik umum,” ujar Rizqi.

 

Menurut catatan LeCI, sejak 2006 kurang lebih terdapat 5 pasal yang mengatur tentang penghinaan terhadap pimpinan negara dan pasal kebencian yang telah dicabut oleh MK. Menurut Rizqi, terkait delik lese majeste dan haatzai artikelen terdapat dua putusan MK tentang hal itu. 

 

Pertama, putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tentang hapusnya Pasal 134, 136bis dan 137 KUHP dan kedua putusan Nomor 6/PUU-V/2007 tentang Pasal 154 dan 155 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). “Karena menghalang-halangi kemerdekaan menyatakan pikiran dan sikap serta pendapat sehingga bertentangan dengan Pasal 28 dan 28 E Ayat (2) dan (3),” ujarnya.

 

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura, menilai dalam batas penalaran yang wajar, muatan pasal, ayat, dan/atau bagian undang-undang yang telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh putusan MK seharusnya tidak perlu dihidupkan kembali dalam rancangan undang-undang.

 

“Karena sudah jelas tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” ujar Charles.

 

Charles mengingatkan, Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa salah satu materi muatan undang-undang adalah tindak lanjut dari putusan MK. Bahkan di ayat (2) menyatakan, tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR dan Presiden.

 

“Berdasarkan Pasal 10 UU 12/2011 tugas DPR dan Presiden adalah melaksanakan putusan MK dan bukan sebaliknya mengabaikan putusan MK,” tutup Charles.

 

Tags:

Berita Terkait