Haatzai Artikelen, Delik Mati yang Terus Coba Dihidupkan
Utama

Haatzai Artikelen, Delik Mati yang Terus Coba Dihidupkan

Melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, MK telah membatalkan pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, MK telah membatalkan pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Waktu itu, MK menilai pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang rentan dimanipulasi oleh penguasa sehingga pasal-pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

 

Namun, Direktur Eksekutif Legal Culture Institute (LeCI) M. Rizqi Azmi mengatakan, pasal-pasal yang telah di hapuskan oleh MK tersebut terus menerus selalu di hidupkan oleh penguasa, baik dalam bentuk regeling (peraturan perundang-undangan seperti RKUHP tentang penyerangan martabat presiden dan wakil presiden). 

 

Tidak hanya itu, produk pemerintah dalam bentuk Beschiking pun coba menghidupkan delik haatzai artikelen. Sebut saja yang terbaru surat telegram Surat Telegram Kapolri Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 yang di kombinasikan dengan Pasal 27 UU ITE tentang pendistribusian konten terkait pencemaran nama baik.

 

Rizqi mengatakan dalam pembahasan Rancangan KUHP, delik lese majeste dan haatzai artikelen coba dihidupkan. Awalnya diatur dalam Pasal 283 dan Pasal 284 RKUHP. Terakhir, delik ini kemudian diatur dalam Pasal 233 RKUHP tentang pidana penyerangan martabat presiden dan wakil presiden.

 

”Kemudian ada lagi pasal penghinaan terhadap pemerintahan. Riset saya ada sekitar 5 pasal karet itu yang dihidupkan. Jadi kalau kita lihat pasal 233 tentang penyerangan terhadap martabat presiden, langsung bahasanya penyerangan,” ujar Rizqi kepada hukumonline.

 

Selain itu, delik haatzai artikelen juga terlihat dalam surat telegram Kapolri nomor ST/1100/IV/HUK.7.1/2020 yang mengatur penanganan perkara dan pedoman pelaksanaan tugas selama masa pencegahan penyebaran Covid-19 dalam pelaksanaan tugas fungsi reskrim terkait perkembangan situasi serta opini di ruang siber dan penegakkan hukum tindak pidana siber.

 

(Baca: Surat Telegram Kapolri Dinilai Langgar Hak Kebebasan Berpendapat)

 

Dalam surat telegram tersebut, ada ketentuan yang mengatur penghinaan kepada penguasa/presiden dan pejabat pemerintah dan pidana penjara satu sampai tiga tahun sebagaimana dimaksud Pasal 207 KUHP. Rizqi mengingatkan Pasal 207 merupakan delik aduan. Karena itu, kepolisian tidak bisa seenaknya menggunakan Pasal 207 untuk menjerat masyarakat. 

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait