Hukumnya Mengadili Poligami Siri
Kolom

Hukumnya Mengadili Poligami Siri

Sesuai SEMA, hak-hak istri pertama harus dilindungi secara hukum dari keberadaan istri lain yang dinikahi suami secara melanggar hukum negara. Tapi, dalam beberapa kasus, itsbat poligami atas perkawinan siri bisa dikabulkan apabila permohonan diajukan setelah perceraian dengan istri pertama demi kepentingan terbaik anak dari istri kedua dan adanya hak-hak anak dari hasil poligami siri melalui wasiat wajibah.

Bacaan 4 Menit

Kedua, permohonan itsbat nikah poligami atas dasar nikah siri harus dinyatakan tidak dapat diterima (SEMA No. 3 Tahun 2018). Ketiga, perkawinan dengan istri kedua, ketiga, dan keempat yang dilakukan tanpa izin pengadilan dan tidak beriktikad baik, tidak menimbulkan hak-hak kebendaan antara suami istri berupa nafkah, harta bersama dan waris (SEMA No. 2 Tahun 2019).

Berdasarkan ketentuan dalam SEMA di atas, dalam mengadili poligami siri Mahkamah Agung lebih menekankan nilai kepastian hukum dan keadilan daripada kemanfaatan. Hak-hak istri pertama harus dilindungi secara hukum dari keberadaan istri lain yang dinikahi oleh suami secara melanggar hukum negara. Akan tetapi, ketentuan-ketentuan tersebut telah menimbulkan masalah tentang status istri kedua dari perkawinan (poligami) siri. Istri tersebut tidak memiliki identitas hukum yang pasti antara seorang istri atau bukan.

Perlindungan hukum bagi istri kedua yang menikah siri dengan suami perlu juga dipertimbangkan secara hukum selama perkawinan tersebut tidak merugikan hak-hak istri pertama. Dalam hal ini, terdapat putusan kasasi nomor 223 K/Ag/2020 yang mengabulkan itsbat poligami atas perkawinan siri apabila permohonan diajukan setelah perceraian dengan istri pertama untuk kepentingan terbaik anak dari istri kedua. Di sini, nilai kemanfaatan dan keadilan lebih ditekankan daripada kepastian hukum.

Kemudian bagaimana dengan hak-hak anak dari hasil poligami siri yang tidak dapat di-itsbat-kan? Dalam rangka melindungi kepentingan terbaik bagi anak kandung dari hasil perkawinan yang dilakukan menurut agama Islam, tetapi tidak dicatatkan, berdasarkan SEMA No. 3 Tahun 2023, anak dapat ditetapkan sebagai penerima wasiat wajibah dari pewaris. Dalam hal ini, nilai keadilan dan kemanfaatan lebih ditekankan dari kepastian hukum. Apabila kepastian hukum bertentangan dengan keadilan, kepastian hukum sebagai karakter hukum positif harus dikalahkan (Radbruch, 2006: 7).

 

*) Muhamad Isna Wahyudi, Ketua Pengadilan Agama Banyumas, Jawa Tengah.

Tags:

Berita Terkait