Hukumnya Mengadili Poligami Siri
Kolom

Hukumnya Mengadili Poligami Siri

Sesuai SEMA, hak-hak istri pertama harus dilindungi secara hukum dari keberadaan istri lain yang dinikahi suami secara melanggar hukum negara. Tapi, dalam beberapa kasus, itsbat poligami atas perkawinan siri bisa dikabulkan apabila permohonan diajukan setelah perceraian dengan istri pertama demi kepentingan terbaik anak dari istri kedua dan adanya hak-hak anak dari hasil poligami siri melalui wasiat wajibah.

Bacaan 4 Menit
Muhamad Isna Wahyudi. Foto: Istimewa
Muhamad Isna Wahyudi. Foto: Istimewa

Perkembangan berlakunya hukum Islam di Indonesia saat ini, hukum Islam telah menjadi hukum positif sebagai hukum tertulis dalam bentuk Undang-Undang. Meski masih ada sebagian hukum tidak tertulis sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat Muslim di Indonesia yakni perkawinan yang sah menurut hukum agama, tapi tidak tercatat (nikah siri). Akibatnya, terdapat kenyataan dualisme hukum perkawinan yang sah, antara perkawinan yang sah menurut hukum agama dan perkawinan yang sah menurut hukum negara.

Kenyataan dualisme hukum perkawinan yang sah di Indonesia merupakan hasil dari kompromi politik selama pembahasan RUU Perkawinan pada tahun 1973 yang menghabiskan sebagian besar waktu untuk merumuskan ketentuan tentang perkawinan yang sah sebagaimana terdapat dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan).

Baca Juga:

Dualisme hukum perkawinan yang sah sejatinya mengungkapkan ketegangan antara agama dan negara dalam melakukan pembangunan hukum nasional. Sebagai upaya menjembatani ketegangan antara agama dan negara, muncullah lembaga itsbat nikah (pengesahan nikah) yang memiliki fungsi penting dalam mengompromikan dualisme hukum tersebut.  

Melalui itsbat nikah, perkawinan yang sah menurut hukum agama, namun tidak tercatat dapat disahkan oleh pengadilan agama, sehingga dapat dicatatkan sejak perkawinan dilangsungkan dan memiliki kekuatan hukum. Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI), dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke pengadilan agama.

Kondisi-kondisi yang dapat diajukan itsbat nikah ke pengadilan agama terbatas pada: a) adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian, b) hilangnya Akta Nikah, c) adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan, d) perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU No.1 Tahun 1974, dan e) perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 (Pasal 7 ayat 3 KHI). Meskipun terdapat pembatasan, kebanyakan kasus pengesahan nikah yang diajukan ke pengadilan agama terkait perkawinan tidak tercatat yang terjadi pasca UU Perkawinan (nikah siri).

Perspektif hukum umum di kalangan hakim pengadilan agama adalah perkawinan yang demikian dapat disahkan melalui itsbat nikah selama perkawinan tersebut telah memenuhi syarat dan rukun menurut agama Islam dan tidak bertentangan dengan hukum negara. Namun, persoalan yang muncul adalah ketika seorang suami melakukan poligami siri tanpa izin dari istri pertama dan tanpa izin dari pengadilan agama (Pasal 3 dan 5 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 56 dan 58 KHI). Poligami siri akan mengantarkan kepada masalah penegakan hukum dalam bidang hukum keluarga dan menimbulkan ketegangan di antara nilai-nilai hukum yang mencakup kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan.

Untuk mewujudkan kesatuan hukum dalam menyelesaikan isu hukum akibat poligami siri, Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang memuat rumusan hasil rapat pleno kamar telah membuat beberapa ketentuan sebagai pedoman bagi para hakim. Pertama, kumulasi (gabungan) gugatan itsbat nikah atas pernikahan kedua tanpa persetujuan istri pertama dengan perceraian, tidak dapat di-itsbat-kan kecuali sudah ada izin poligami dari Pengadilan Agama (SEMA No. 7 Tahun 2012).

Kedua, permohonan itsbat nikah poligami atas dasar nikah siri harus dinyatakan tidak dapat diterima (SEMA No. 3 Tahun 2018). Ketiga, perkawinan dengan istri kedua, ketiga, dan keempat yang dilakukan tanpa izin pengadilan dan tidak beriktikad baik, tidak menimbulkan hak-hak kebendaan antara suami istri berupa nafkah, harta bersama dan waris (SEMA No. 2 Tahun 2019).

Berdasarkan ketentuan dalam SEMA di atas, dalam mengadili poligami siri Mahkamah Agung lebih menekankan nilai kepastian hukum dan keadilan daripada kemanfaatan. Hak-hak istri pertama harus dilindungi secara hukum dari keberadaan istri lain yang dinikahi oleh suami secara melanggar hukum negara. Akan tetapi, ketentuan-ketentuan tersebut telah menimbulkan masalah tentang status istri kedua dari perkawinan (poligami) siri. Istri tersebut tidak memiliki identitas hukum yang pasti antara seorang istri atau bukan.

Perlindungan hukum bagi istri kedua yang menikah siri dengan suami perlu juga dipertimbangkan secara hukum selama perkawinan tersebut tidak merugikan hak-hak istri pertama. Dalam hal ini, terdapat putusan kasasi nomor 223 K/Ag/2020 yang mengabulkan itsbat poligami atas perkawinan siri apabila permohonan diajukan setelah perceraian dengan istri pertama untuk kepentingan terbaik anak dari istri kedua. Di sini, nilai kemanfaatan dan keadilan lebih ditekankan daripada kepastian hukum.

Kemudian bagaimana dengan hak-hak anak dari hasil poligami siri yang tidak dapat di-itsbat-kan? Dalam rangka melindungi kepentingan terbaik bagi anak kandung dari hasil perkawinan yang dilakukan menurut agama Islam, tetapi tidak dicatatkan, berdasarkan SEMA No. 3 Tahun 2023, anak dapat ditetapkan sebagai penerima wasiat wajibah dari pewaris. Dalam hal ini, nilai keadilan dan kemanfaatan lebih ditekankan dari kepastian hukum. Apabila kepastian hukum bertentangan dengan keadilan, kepastian hukum sebagai karakter hukum positif harus dikalahkan (Radbruch, 2006: 7).

 

*) Muhamad Isna Wahyudi, Ketua Pengadilan Agama Banyumas, Jawa Tengah.

Tags:

Berita Terkait