Hukum pidana dapat berfungsi menjadi “tameng” untuk melindungi Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini karena hukum pidana memuat ketentuan baik melalui hukum pidana materil maupun hukum pidana formal yang sejalan dengan berbagai instrumen HAM. Termasuk pula sejalan dengan kerangka hukum HAM yang berlaku di Indonesia.
Di sisi lain, hukum pidana dapat juga berfungsi sebagai “pedang” untuk melindungi HAM. Ini karena hukum pidana atau politik hukum pidana mengkriminalisasi perbuatan yang berbahaya bagi HAM. Termasuk pula melakukan penegakan hukum atas pelanggaran tersebut.
“Untuk mewujudkan hukum pidana sebagai tameng dan sebagai pedang untuk perlindungan HAM, diperlukan kerangka hukum, edukasi, penegakan hukum, hingga mencegah impunitas,” ujar Topo Santoso dalam "Kuliah Umum 10 Tahun Guru Besar Prof. Topo Santoso dan Penutupan dan Pertemuan Refleksi TERAPI HAM", Kamis (18/7/2024) lalu.
Baca Juga:
Gandeng FHUI, ASPERHUPIKI Gelar Refleksi Pendidikan Tinggi Hukum Pidana
Kelebihan dan Kekurangan Buku Terbaru Prof Topo di Mata Hakim Agung dan Jaksa
Lebih lanjut, Topo menyatakan ada dua jenis hukum pidana yang melindungi HAM yaitu hukum pidana (khususnya hukum pidana materil) dan hukum pidana (khususnya hukum pidana formal).
Hukum pidana materil berguna untuk melindungi HAM dari kesewenangan, kesalahan, alasan penghapus pidana, dan gugurnya kewenangan penuntutan. Kemudian, hukum pidana formal berguna bagi perlindungan HAM dalam setiap tahapan mulai dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, hingga pelaksanaan putusan pengadilan.
Dalam kuliah umumnya, Topo mengatakan hukum pidana memang dapat berperan sebagai pedang. Ini hanya selama dia diperlukan untuk melindungi HAM dari berbagai ancaman dan pelanggaran.
Dalam banyak kasus, perlindungan HAM tidak selalu dapat tercapai hanya dengan pendekatan preventif. Namun, diperlukan sanksi yang tegas terhadap pelaku pelanggaran HAM agar masyarakat dapat merasa aman dan terhindar dari perilaku yang merugikan hak mereka.