Hanna Azkiya: Jangan Minder Duluan Melihat Lawyer Asing
Terbaru

Hanna Azkiya: Jangan Minder Duluan Melihat Lawyer Asing

Sudah lama hukum Indonesia dicap negatif. Tetapi siapa sangka, di tengah pandangan negatif itu salah seorang mahasiswa hukum Indonesia mengukir prestasi internasional. Namanya Hanna Azkiya.

M-3
Bacaan 2 Menit

 

Anda sempat minder?

Pastinya minder, karena saya secara pribadi memang orangnya gugupan, panik paranoid dan saya takut ketika pertama kali tiba di sana. Dalam briefing, saya melihat kayaknya nih para peserta lain pintar-pintar banget, mampu tidak ya kami mempertahankan kasus yang akan kami angkat. Cuma setelah itu saya pikir ya sudahlah. Saya juga tidak guna berpikir sampai ke situ. Lebih baik saya focus, dan do my best.

 

Menurut siapa lawan paling sulit dalam Moot Court kali ini?

Wakil Pensylvania dan Xiang Men. Pensylvania dari segi hukum mungkin tidak terlalu bagus tapi dari style-nya bagus, mereka kelihatan nyaman dan mampu menarik perhatian juri. Kalau Xiang Men, style tidak terlalu bagus, tapi hukumnya bagus banget. Bahkan ketika Indonesia sudah memberikan jawaban balik dia masih bisa membalas walau tidak benar sekali.

 

Apa pelajaran dari kemenangan Anda di kompetisi internasional itu?

Kalau kamu udah punya keinginan kamu harus siap untuk go for the long mile. Saya benar-benar harus mengorbankan banyak hal seperti kuliah. Tetapi karena saya berprinsip kalau saya mau hal ini, saya harus all out, tidak boleh setengah-setengah. Kalau saya setengah-setengah nanti kuliah saya kacau, ini juga kacau, ga bisa dong. Saya dari awal memang udah berdoa kalau misalnya ini baik untuk saya tolong mudahkan jalannya. Pelajaran yang lain adalah kalau kita yakin pada diri sendiri tidak ada yang tidak mungkin. Orang Indonesia kan mikirnya ketika melawan foreign lawyer atau foreign student sudah minder duluan. Sebenarnya tidak perlu begitu karena mereka juga banyak kekurangan dari segi hukum. Kita kan dari negara berkembang, akses hukumnya tidak terlalu banyak seperti mereka. Jadi mereka mungkin sudah lebih percaya diri. Tapi kita harus lebih terpacu, lebih semangat mencari kemana saja. Tahun ini untungnya tim kami dibantu oleh ILSA (International Law Student Association, penyelenggara Moot Court --red) sendiri. Kami diberi akses ke Lexis, West Law dan Hign Online. Di kampus UI kami hanya dapat West Law, padahal Hign Online juga tidak kalah penting karena di situ ada compendium Jessup dari tahun 1969 sampai sekarang. Itu berguna bagi kami karena dapat memperkirakan apa yang ada di Bench Memo (daftar pertanyaan Juri-red).

 

(Kemenangan Hanna cukup mengagetkan karena bisa mengalahkan peserta yang sehari-hari berbicara bahasa Inggris. Ketika kabar keberhasilannya sebagai best oralist sampai ke Indonesia, ada yang mengira kemampuan Hanna berbahasa Inggris lebih karena ia anak seorang diplomat. Hanna membantahnya. Bokap saya pegawai bank, nyokap ibu rumah tangga, ujarnya).

 

Ada perbedaan dengan mahasiswa lain?

English as their first language. Ini sedikit banyak pasti berpengaruh. Kalau tidak terbiasa kan mikir-mikir. Kebanyakan orang Indonesia terlalu terpaku pada grammar sehingga apa yang mereka ingin sampaikan tidak keluar-keluar. Kalau orang bule kan tidak perlu berpikir tinggal hukumnya saja. Kita jadi dua kali kerja. Beda sistem pendidikan Indonesia dan luar negeri menurut saya juga kelihatan di sana. Mereka kan punya kelas mooting sendiri, masuk SKS (sistem kredit semester). Kalau di luar, ICJ sistemnya Common Law, berdasarkan kasus/jurisprudensi. Jadi mereka lebih gampang untuk menganalisis kasus. Kita di Indonesia kan tidak terbiasa menganalisis kasus. Kita biasanya pakai undang-undang. Sedangkan mereka sudah terlatih baca kasus dan menganalisisnya. Kita kan jarang melakukan hal itu. Mereka juga bisa langsung tanya ke profesornya sebagai tuan rumah.

 

Optimis nggak mahasiswa hukum Indonesia bisa seperti itu?

Saya sih optimis. Sekarang sudah banyak kemajuan. Profesor Hikmahanto Juwana (dekan FH UI—red.) sudah menyediakan ruang khusus untuk latihan mooting.

 

Setelah lulus Anda mau jadi apa?  

Sebenarnya saya masih bingung. Saya tertarik untuk jadi arbitrator. Soalnya saya concern pada gender isu. Kalau jadi lawyer terlalu aktif buat saya, saya tidak yakin bisa. Tapi waktu masih fresh graduate sih tidak apa-apa, nanti kalau sudah lama saya bakal jadi konsultan hukum saja.

Tags: