Hambat Importasi Produk, Alasan Omnibus Cabut Pasal 20 UU Paten
Berita

Hambat Importasi Produk, Alasan Omnibus Cabut Pasal 20 UU Paten

Kalau importasi tidak dianggap sebagai pelaksanaan paten, kebijakan ini akan memberatkan pemegang paten.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit

“Kalau importasi paten tidak dianggap sebagai pelaksanaan paten, itu memberatkan dari pihak pemegang paten. Karena dianggap menghambat dan sudah diprotes oleh banyak negara, akhirnya kita masukkan ke Omnibus Law, Pasal 20 kita hapuskan,” jelas Razilu.

Umumnya, Razilu mengungkapkan, sebagian besar paten yang berkaitan dengan farmasi, akan membutuhkan sekitar 10 sampai 100 paten untuk dapat dijadikan wujud nyata satu buah obat yang utuh. Artinya, bukan berarti satu paten bisa langsung dieksekusi menjadi obat. Jika, implementasinya tidak fleksibel atau dipersyaratkan proses pelaksanaan harus di Indonesia, maka kemudahan inovasi dan importasi obat kemungkinan akan sulit. Untuk itu, sudah semestinya importasi paten juga dianggap sebagai pelaksanaan paten.

(Baca juga: Beri Perlindungan Kekayaan Intelektual, DJKI Tinggalkan Cara Lama).

Guna mempermudah proses, World Intellectual Property Organization (WIPO) bahkan telah menyediakan sistem yang memudahkan pendaftaran paten di 50 hingga 100 negara, yakni melalui Patent Cooperation Treaty (PCT). Melalui PCT, inventor cukup mendaftarkan patennya di salah satu receiving office, misalnya DJKI Kemenkumham di Indonesia. Selanjutnya, inventor bisa menunjuk ke negara mana saja Ia hendak mendaftarkan paten. “Nanti kita sebagai receiving office yang akan kirimkan ke WIPO, kemudian WIPO yang kirim ke negara tujuan masing-masing,” jelasnya.

Terkait penghapusan Pasal 20 UU Paten itu, sebetulnya pernah disinggung Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly ketika menerima kunjungan duta besar dari negara-negara Uni Eropa pada 14 Januari tahun lalu. Dalam kesempatan itu, Yasonna menyebut kewajiban pembuatan produk di Indonesia berikut kewajiban transfer teknologi dan penyediaan lapangan kerja telah memberatkan para investor.

Untuk mengatasi hambatan pada Pasal 20, Yasonna bahkan sengaja menerbitkan Permen No 15 Tahun 2018, agar implementasi Pasal tersebut bisa ditunda sembari menunggu berlakunya RUU Cipta Kerja. “Sambil menunggu mengubah UU ini melalui Parlemen kami (Omnibus), saya telah menerbitkan Peraturan Menteri No. 15 Tahun 2018 tentang penundaan Pasal 20 ini,” ujarnya dilansir dari laman resmi resmi DJKI.

Tags:

Berita Terkait