Hambat Importasi Produk, Alasan Omnibus Cabut Pasal 20 UU Paten
Berita

Hambat Importasi Produk, Alasan Omnibus Cabut Pasal 20 UU Paten

Kalau importasi tidak dianggap sebagai pelaksanaan paten, kebijakan ini akan memberatkan pemegang paten.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Razilu, Staf Ahli Menkumham Bidang Ekonomi, dalam acara Webinar hukumonline dan Ditjen Kekayaan Intelektual. Foto: RES
Razilu, Staf Ahli Menkumham Bidang Ekonomi, dalam acara Webinar hukumonline dan Ditjen Kekayaan Intelektual. Foto: RES

Penghapusan Pasal 20 UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten melalui Pasal 110 RUU Cipta Kerja telah memantik kritik, utamanya kalangan akademisi. Sejumlah akademisi meminta agar pasal yang menjadi ruh UU Paten itu tak dihapuskan. Suara kritis akademisi mungkin tak akan berpengaruh banyak. Pemerintah bersikeras Pasal 20 UU Paten bertentangan dengan TRIPs. Lagipula ada protes dari kalangan pengusaha berkaitan dengan kewajiban-kewajiban dalam UU Paten.

Kritik soal penghapusan pasal 20 ini sudah ditulis melalui tulisan sebelumnya yang berjudul Omnibus Law Dianggap Cederai Sejarah Paten. Dalam wawancara langsung hukumonline dengan Staf Ahli Kementerian Hukum dan HAM bidang ekonomi, Razilu, ada beberapa legal standing menarik yang melatarbelakangi rencana penghapusan Pasal 20 UU Paten. Ia meyakini langkah serupa dilakukan banyak negara.

“Kemungkinan besar semua negara sudah menghapusnya, karena itu tidak sesuai dengan TRIPs, dan menyulitkan dari segi pelaksanaan paten,” ujar Razilu saat disambangi sesudah mengisi webinar hukumonline bertajuk ‘Memahami Seluk Beluk Hak Kekayaan Intelektual, di Jakarta,Selasa, (24/3).

Perlu diketahui, satu hal yang paling penting terkait paten adalah fleksibilitas pelaksanaan paten. Sementara, Pasal 20 UU Paten mempersyaratkan setiap pihak yang ingin melaksanakan paten di Indonesia, maka proses pembuatan produk tersebut harus dilakukan di Indonesia. Untung ataupun rugi, tetap pembuatan produk harus dilakukan di Indonesia.

Dengan ketentuan itu, produk impor menjadi dianggap tak memenuhi prasyarat pelaksanaan paten di Indonesia. Wajar saja, karena proses pembuatannya tidak di Indonesia. Padahal, terkait paten tertentu yang proses pembuatannya rumit, akan sangat rumit pula bila pabriknya juga harus dibuat di Indonesia.

Lebih rinci, Razilu mencontohkan sebuah perusahaan farmasi AS misalnya, menemukan jenis zat adiktif baru terkait dengan obat. Bila paten zat tersebut ingin didaftarkan di Indonesia, maka ‘mau tidak mau’ perusahaan itu harus membangun pabriknya terlebih dahulu di Indonesia. Padahal, mungkin saja bahan baku zat tersebut tidak ada di Indonesia, mungkin juga orang yang ahli terkait hal itu tidak ada di Indonesia.

Jika hambatan itu tidak dipikirkan, ujungnya produk paten tertentu menjadi tidak profitable. Ingat, sistem paten mempersyaratkan, bila sudah ada pihak yang mendaftarkan jenis paten tersebut, artinya pihak lain sudah tidak lagi diperkenankan mendaftarkan paten jenis itu. Dengan adanya hambatan keharusan melakukan proses di Indonesia, hal ini memicu kritik dari Luar Negeri dan akhirnya menghambat laju investasi.

“Kalau importasi paten tidak dianggap sebagai pelaksanaan paten, itu memberatkan dari pihak pemegang paten. Karena dianggap menghambat dan sudah diprotes oleh banyak negara, akhirnya kita masukkan ke Omnibus Law, Pasal 20 kita hapuskan,” jelas Razilu.

Umumnya, Razilu mengungkapkan, sebagian besar paten yang berkaitan dengan farmasi, akan membutuhkan sekitar 10 sampai 100 paten untuk dapat dijadikan wujud nyata satu buah obat yang utuh. Artinya, bukan berarti satu paten bisa langsung dieksekusi menjadi obat. Jika, implementasinya tidak fleksibel atau dipersyaratkan proses pelaksanaan harus di Indonesia, maka kemudahan inovasi dan importasi obat kemungkinan akan sulit. Untuk itu, sudah semestinya importasi paten juga dianggap sebagai pelaksanaan paten.

(Baca juga: Beri Perlindungan Kekayaan Intelektual, DJKI Tinggalkan Cara Lama).

Guna mempermudah proses, World Intellectual Property Organization (WIPO) bahkan telah menyediakan sistem yang memudahkan pendaftaran paten di 50 hingga 100 negara, yakni melalui Patent Cooperation Treaty (PCT). Melalui PCT, inventor cukup mendaftarkan patennya di salah satu receiving office, misalnya DJKI Kemenkumham di Indonesia. Selanjutnya, inventor bisa menunjuk ke negara mana saja Ia hendak mendaftarkan paten. “Nanti kita sebagai receiving office yang akan kirimkan ke WIPO, kemudian WIPO yang kirim ke negara tujuan masing-masing,” jelasnya.

Terkait penghapusan Pasal 20 UU Paten itu, sebetulnya pernah disinggung Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly ketika menerima kunjungan duta besar dari negara-negara Uni Eropa pada 14 Januari tahun lalu. Dalam kesempatan itu, Yasonna menyebut kewajiban pembuatan produk di Indonesia berikut kewajiban transfer teknologi dan penyediaan lapangan kerja telah memberatkan para investor.

Untuk mengatasi hambatan pada Pasal 20, Yasonna bahkan sengaja menerbitkan Permen No 15 Tahun 2018, agar implementasi Pasal tersebut bisa ditunda sembari menunggu berlakunya RUU Cipta Kerja. “Sambil menunggu mengubah UU ini melalui Parlemen kami (Omnibus), saya telah menerbitkan Peraturan Menteri No. 15 Tahun 2018 tentang penundaan Pasal 20 ini,” ujarnya dilansir dari laman resmi resmi DJKI.

Tags:

Berita Terkait