Hakim Berwenang Meminta Pelaku Contempt of Court Ditahan
Berita

Hakim Berwenang Meminta Pelaku Contempt of Court Ditahan

Ketua majelis hakim adalah pihak yang paling berwenang menentukan ada tidaknya tindak pidana pelecehan terhadap pengadilan (contempt of court) dalam suatu perkara yang ditanganinya. Cuma, hakim jarang menggunakan wewenang itu.

Mys
Bacaan 2 Menit
Hakim Berwenang Meminta Pelaku <i>Contempt of Court</i> Ditahan
Hukumonline

 

Masalahnya, kata Junaidi, hal tersebut sangat tergantung pada subjektivitas majelis hakim. Kalau hakim merasa kegaduhan yang ditimbulkan pelaku sudah sangat mengganggu proses persidangan, hakim mestinya melakukan tindakan pencegahan seperti meminta pelaku keluar ruangan atau memerintahkan aparat menangkapnya.

 

Bisa Ditangkap

 

Hakim PN Jakarta Pusat Andi Samsan Nganro juga membenarkan adanya kewenangan hakim untuk mencegah terjadinya pelecehan. Kata dia, kewenangan semacam itu dimaksudkan untuk martabat pengadilan, termasuk kewibawaan hakim selaku penegak hukum.

 

Ketentuan yang dimaksud Andi Samsan antara lain adalah pasal-pasal KUHP. Pasal 218 misalnya, sudah mengatur kewajiban kepada setiap pengunjung sidang untuk menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan. Jika pengunjung tidak melakukan kewajiban itu, hakim berhak memerintahkan agar pengunjung tadi keluar ruang sidang.

 

Bahkan kalau pelanggaran tata tertib sudah mengarah ke tindak pidana, hakim berwenang memerintahkan penangkapan, dilanjutkan penuntutan. Pasal 218 menegaskan bahwa pelaku kegaduhan sidang pengadilan bisa diancam dengan pidana penjara maksimal tiga minggu.

 

Selain kedua pasal dimaksud, masih ada ketentuan KUHP yang bisa dikenakan untuk menjerat pelaku contempt of court. Misalnya pasal 207, 212, 214, 310 dan pasal 316 KUHP. Cuma, banyak pihak yang menilai ketentuan yang mengatur hal tersebut belum diatur secara gamblang. 

 

Parameter yang jelas

Pandangan yang sama dikemukakan advokat Djoko P. Saebani. Anggota tim pembela kasus Tempo ini menilai bahwa hakim sering ragu-ragu bertindak lantaran tidak adanya parameter yang jelas mengenai contempt of court. Menurut dia, adalah penting ditetapkan apa perbuatan di ruang sidang yang masuk kategori pelecehan pengadilan dan mana yang tidak.

 

Junaidi, Sekjen MaPPI, memberi contoh tindakan pengunjung membentangkan spanduk di dalam ruang sidang. Apakah itu masuk pelecehan atau penghinaan pengadilan atau tidak? Dalam praktek, setiap hakim berbeda pendapat mengenai hal itu. Di PN Jakarta Pusat, misalnya, ada hakim yang langsung memerintahkan spanduk diturunkan. Tetapi ada pula yang tidak, termasuk sidang perkara 27 Juli.

 

Sebenarnya UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sudah memerintahkan agar masalah contempt of court dibuat dalam satu undang-undang tersendiri. Cuma, seperti yang ditulis Luhut MP Pangaribuan dalam buku Advokat dan Contempt of Court, yang dikeluarkan pemerintah justeru Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua MA dan Menteri Kehakiman tahun 1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan penasehat Hukum.

 

Saat itu, pengaturan contempt of court lebih diarahkan kepada pengacara, bukan kepada pengunjung sidang secara keseluruhan, termasuk jaksa. Namun kini MA sudah mempersiapkan sebuah draf akademis RUU Contempt of Court yang akan membuat pengaturan lebih luas. (Mys)

Demikian antara lain benang merah yang berhasil dihimpun dari sejumlah advokat, hakim dan pengamat pengadilan. Pendapat itu disampaikan menanggapi dugaan adanya contempt of court yang dilakukan sebagian pengunjung sidang perkara 27 Juli di Pengadilan Jakarta Pusat, Rabu (06/07) lalu.

 

Sekjen Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Junaidi, berpendapat bahwa kejadian seperti dalam perkara 27 Juli sudah semestinya mendapat perhatian serius dari hakim. "Perbuatan menerobos pembatas lalu berteriak-teriak dan menunjuk jaksa atau hakim sungguh tidak proper," katanya, saat dihubungi hukumonline via telepon.

Tags: