Hakikat Pendirian BUMN Bukan Cari Untung
Berita

Hakikat Pendirian BUMN Bukan Cari Untung

Delegasi wewenang yang mengatur dengan PP sebagaimana diatur pasal 4 ayat (4) UU BUMN melemahkan fungsi legislasi dan pengawasan anggaran melalui pengesahan RUU APBN oleh DPR.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit

 

Potensi multitafsir

Ahli pemohon lain, dosen hukum tata negara dari Universitas Udayana Johanes Usfunan menilai substansi Pasal 2 ayat (1) huruf a UU BUMN, norma hukumnya kabur yang berpotensi menimbulkan multitafsir. Hal itu tercermin dari rumusan frasa “memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya.”

 

“Penggunaan frasa ‘sumbangan dan perkembangan’ mengandung makna sukarela, tidak mengikat dan tidak ada target. Seharusnya, rumusan yang jelas adalah mendorong peningkatan kemajuan perekonomian,” usul Johanes dalam sidang.

 

Menurutnya, frasa “sumbangan dan perkembangan” berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan dalam bentuk KKN yang merugikan kepentingan masyarakat termasuk Pemohon. Ia melanjutkan frasa tersebut digunakan sebagai justifikasi terhadap ketidakberhasilan kegiatan BUMN atau sebaliknya.

 

Karena sifatnya hanya memberi sumbangan bagi perkembangan perekonomian, kemungkinan dapat disalahgunakan sebagai alasan oleh oknum tertentu pengelola BUMN untuk mengelak dari kemungkinan tuduhan bahwa BUMN tidak berhasil.

 

“Jadi, penjelasan ketentuan pasal a quo jelas semakin kabur dan seharusnya rumusan yang jelas adalah BUMN wajib meningkatkan mutu pelayan pada masyarakat sekaligus memberi kontribusi meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional,” tegasnya.

 

Lemahkan pengawasan DPR

Terkait Pasal 4 ayat (4) UU BUMN, Johanes menegaskan pentingnya pengawasan DPR dalam kegiatan tata cara penyertaan dan penatausahaan modal negara pada BUMN berkaitan wewenang delegasi pengaturan dengan peraturan pemerintah (PP). Menurutnya, DPR sebagai representasi rakyat berfungsi legislasi dalam penyusunan anggaran melalui mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Untuk itu, lanjutnya, penting perlu adanya pengawasan dari DPR.

 

Kemudian,  Johanes menerangkan pelaksanaan penyertaan modal BUMN yang tidak dilakukan melalui mekanisme APBN bertentangan dengan Putusan MK Nomor 2/SKLN-X/2012 tanggal 31 Juli 2012 yang menentukan penyertaan modal negara pada suatu BUMN atau PT merupakan kewenangan konstitusional pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan.

Tags:

Berita Terkait