Hak Kreditur Ajukan PKPU: Salah Kaprah Memaknai Chapter 11 US Bankcruptcy Code
Berita

Hak Kreditur Ajukan PKPU: Salah Kaprah Memaknai Chapter 11 US Bankcruptcy Code

Hak kreditur mengajukan pailit dipandang sebagai buah atas ketidaktuntasan pengkajian chapter 11 US bankcruptcy code, sehingga PKPU dapat dikatakan sebagai cara terampuh untuk mematikan debitur. Dipihak lain, pailit harus dijadikan upaya ultimate remidium, setelah sebelumnya diberi kesempatan Restrukturisasi.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit

 

Buntut insolvensi yang dihasilkan karena iktikad buruk kreditur untuk mempailitkan debitur dengan cara yang lebih cepat, kata Ricardo, jelas menabrak fungsi utama pemberlakukan PKPU yakni memberi kesempatan debitur untuk melakukan restrukturisasi. Padahal, kata Ricardo, sekalipun debitur memang sudah tidak mampu lagi, tetapi ia meyakini bahwa ketidakmampuannya itu bersifat temporer, di situ seharusnya ia bisa meminta waktu kepada kreditur untuk melakukan restrukturisasi.

 

“Sebaliknya, fakta yang terjadi di lapangan, kreditur berfikir daripada dia mengajukan pailit kemudian pihak yang diajukan pailit (debitur) mengajukan PKPU, lebih baik dia berpikir langsung ajukan PKPU saja, ujungnya juga akan pailit,” ungkap Ricardo.

 

(Baca Juga: DPR Curiga PKPU First Travel ‘Diboncengi’ Oknum Jamaah Agar Berakhir Pailit)

 

Ricardo mengusulkan, agar ke depan permohonan PKPU itu sebaiknya hanya dilakukan oleh debitur. Kalaupun seandainya kreditur masih tetap diperbolehkan, maka kreditur itulah yang harus dibebankan untuk membuktikan di hadapan pengadilan bahwa dia juga meyakini debitur yang akan dia PKPU-kan tersebut masih layak direstrukturisasi. Sehingga ketika kreditur nantinya tidak meyakini bahwa debitur mampu melakukan restrukturisasi untuk melunasi utangnya, kreditur tidak lagi mengajukan PKPU, melainkan yang ia ajukan adalah permohonan pailit.

 

Guru Besar Hukum Bisnis UNAIR, Sutan Remi Sjahdeni justru berpendapat bahwa hak untuk mengajukan PKPU harus dimiliki oleh kedua-duanya, baik oleh debitur maupun kreditur. Sutan Remi juga mengungkapkan praktik saat ia dulu masih menjadi bankir, katanya, kepada debitur yang beriktikad baik dan masih mempunyai prospek bisnis yang baik, justru bank yang menawarkan kesempatan kepada debitur untuk melakukan restrukturisasi.

 

“Ini semua bersangkutan dengan keinginan bank sebagai kreditur agar memiliki hubungan yang berlangsung lama dengan debitur. Itulah mengapa pentingnya jiwa nasionalisme bahwa hubungan usaha yang baik itu hendaknya dipelihara, jangan malah dimatikan,” pungkas Sutan Remi kepada hukumonline, Senin, (16/07).

 

Persoalan dalam praktik di lapangan seringkali terjadi penyelewengan, kata Sutan Remi, artinya yang salah bukan sistemnya melainkan oknumnya. Jadi harus dibedakan antara kondisi kreditur tidak mau membayar utang (willingness to repay) dengan kondisi tidak bisa membayar (ability to repay). Willingness itu berkaitan dengan watak atau karakter dia yang tidak mau membayar, sementara ability berkaitan dengan ketidakmampuan dia membayar yang dilandas oleh beberapa penyebab.

 

“Kalau ketidakbisaannya membayar utang karena hal-hal yang sifatnya jangka pendek, dan dia masih punya kesempatan untuk memperbaiki itu, saya tidak setuju jika kesempatan mengajukan PKPU tidak diberikan kepada kreditur,” jelas Sutan Remi.

Tags:

Berita Terkait