Hak Kreditur Ajukan PKPU: Salah Kaprah Memaknai Chapter 11 US Bankcruptcy Code
Berita

Hak Kreditur Ajukan PKPU: Salah Kaprah Memaknai Chapter 11 US Bankcruptcy Code

Hak kreditur mengajukan pailit dipandang sebagai buah atas ketidaktuntasan pengkajian chapter 11 US bankcruptcy code, sehingga PKPU dapat dikatakan sebagai cara terampuh untuk mematikan debitur. Dipihak lain, pailit harus dijadikan upaya ultimate remidium, setelah sebelumnya diberi kesempatan Restrukturisasi.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit

 

Penambahan hak kreditur dalam mengajukan PKPU dalam proses revisi UU No. 4/1998 dipandang Ricardo sebagai buah dari ketidaktuntasan pengkajian soal kehendak untuk mengadopsi konsep yang dianut dalam Chapter 11 US Bankcruptcy code. Padahal, kata Ricardo, lebih dari 90% chapter 11 itu pengajuan PKPU-nya dilakukan oleh debitur.

 

(Baca Juga: Serah Terima Unit Apartemen ‘Molor’, Konsumen Ajukan PKPU)

 

Adapun terkait kreditur yang mengajukan usulan restrukturisasi dalam mekanisme chapter 11 di AS, jelas Ricardo, adalah kreditur yang betul-betul berada dalam posisi yang aktif untuk mendukung restrukturisasi. Bahkan jika kreditur sudah melihat tidak ada lagi potensi debitur bisa direstrukturisasi, maka kreditur tidak akan maju menggunakan chapter 11, tetapi menggunakan mekanisme likuidasi dalam chapter 7.

 

“Sangat berbeda dengan kreditur dalam mengajukan PKPU di Indonesia, di atas kertas seolah-olah ia pro-restrukturisasi, pura-pura permohonan PKPU, tapi saat voting kreditur itu juga menolak, terbukti track record kepailitan di Indonesia saat ini paling banyak diajukan melalui PKPU,” jelas Ricardo kepada hukumonline, Jum’at, (13/7).

 

Terlebih lagi, sambung Ricardo, kreditur yang memiliki posisi mayoritas seringkali menggunakan pasal 222 ayat (3) ini sebagai jalan pintas untuk mempailitkan debitur. Sementara jika suatu perkara PKPU sudah diputus oleh pengadilan maka tidak ada lagi upaya hukum yang bisa ditempuh, tidak bisa kasasi, tidak bisa pula Peninjauan Kembali (PK), hasil dari keputusan PKPU itu akan langsung insolvensi.

 

“Jadi kalau sudah dinyatakan insolven tidak perlu lagi lama-lama, tak perlu kasasi, tak perlu lagi PK, kalau udah diputus PKPU dan PKPU-nya gagal, kan tak ada upaya hukum lagi, artinya sudah final,” terang Ricardo.

 

Lantas, kata Ricardo, apakah karena Indonesia sangat pro restrukturisasi yang mengakibatkan permohonan pailit lebih didominasi oleh PKPU? Jawabannya jelas tidak. Justru menurut Ricardo, dominasi perkara PKPU ini merupakan konsekuensi dari pemberlakuan pasal 229 ayat (3) UU PKPU, di mana jika kreditur mengajukan permohonan pailit dan secara bersamaan terhadap permohonan pailit itu diajukan PKPU, maka pemeriksaan atas perkara PKPU akan didahulukan dan permohonan pailit tadi akan ditunda.

 

Pasal 229

  1. Apabila permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang diperiksa pada saat yang bersamaan, permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang harus diputuskan terlebih dahulu.
  1. Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang yang diajukan setelah adanya permohonan pernyataan pailit yang diajukan terhadap debitor, agar dapat diputus sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib diajukan pada saat sidang pertama pemeriksaan permohonan pernyataan pailit.
Tags:

Berita Terkait