Hak Kekayaan Intelektual dalam Era Digital
Oleh: Danrivanto Budhijanto, S.H., LL.M in IT Law

Hak Kekayaan Intelektual dalam Era Digital

Berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta pada 29 Juli 2003 (UUHC) ternyata menyisakan keresahan bagi komunitas Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), termasuk industri terkait seperti telekomunikasi, penyiaran dan content provider.

Bacaan 2 Menit

 

Karya cipta berupa program komputer, sinematografi, fotografi, database dan karya hasil pengalihwujudan yang perlindungannya berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan. Selain itu, karya cipta di Indonesia akan dilindungi selama masa hidup Penciptanya ditambah 50 tahun lagi setelah pencipta dimaksud meninggal dunia.

 

Permasalahan yang muncul pada saat ini adalah bagaimana alih bentuk karya cipta ke bentuk (format) digital. Terkadang hal ini menimbulkan interpertasi berbeda-beda termasuk pelanggaran hak ciptanya. Ketika lagu atau musik yang sebelumnya didapatkan dalam bentuk kaset atau keping cakram (CD), maka bagaimana statusnya jika telah menjadi format MP3 atau MP5. Apakah tetap dapat dikategorikan karya cipta lagu atau program komputer?

 

Hal ini tentu diperlukan jalan keluar dimana salah satunya adalah dengan cara penyempurnaan beberapa ketentuan di dalam UUHC. Pada akhir 1998, menyikapi permasalahan serupa maka AS memberlakukan rezim sui generis melalui Digital Millennium Copyright Act (DCMA) sebagai upaya perlindungan HKI khususnya hak cipta di Internet.

 

Fair Use

Copyright di AS bukanlah suatu hak yang bersifat mutlak. Kewajaran penggunaan (fair use) merupakan doktrin yang diakui secara nyata dalam ketentuan perundang-undangan dan praktek bisnis secara umum. Penggunaan hasil karya cipta yang dipergunakan untuk memberikan kritik atau komentar, laporan pemberitaan, tujuan pendidikan dan penelitian tidak dikategorikan sebagai pelanggaran copyright di AS.

 

US Copyright Act bahkan memberi acuan yang dapat dipergunakan sebagai faktor penentu untuk menilai apakah suatu kegiatan tidak dikategorikan sebagai pelanggaran copyright. Misalnya apabila tujuan dan karakter penggunaan karya ciptaan untuk kegiatan non-komersial atau tujuan pendidikan, sifat dari karya ciptaan maupun jumlah dan substansi karya ciptaan yang digunakan haruslah proporsional. Juga bila penggunaan, tidak memunculkan implikasi yang signifikan bagi pasar potensial pengguna karya cipta ataupun menurunnya nilai jual dari karya ciptaan.

 

Sangat disadari bahwa doktrin kewajaran penggunaan (fair use) dan acuan di dalam US Copyright Act tidaklah mudah digunakan dalam praktiknya. Namun, pihak pengadilan setidaknya memiliki indikator yang jelas apabila muncul sengketa hak cipta sehingga keseimbangan antara perlindungan terhadap karya cipta dan kebebasan untuk berekspresi dapat terwujud.

 

Dalam UUHC dikenal pula doktrin kewajaran penggunaan (fair use) sebagaimana termuat dalam Pasal 15 UUHC.  Antara lain disebutkan bahwa tidak merupakan pelanggaran hak cipta apabila penggunaan ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta. Atau jika pengambilan ciptaan pihak lain itu guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar pengadilan.

Tags: