Hak Atas Pekerjaan Para Penyandang Cacat Masih Terabaikan
Berita

Hak Atas Pekerjaan Para Penyandang Cacat Masih Terabaikan

Depnakertrans diminta memberdayakan Balai Latihan Kerja dengan lebih banyak mengikutsertakan penyandang cacat mengikuti pelatihan keterampilan kerja yang bisa diterima oleh pasar.

ASh
Bacaan 2 Menit

 

Pernyataan Arya diamini Kasubdit Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat Departemen Sosial, Huldaria Bako. Huldaria mengaku pernah menemui beberapa perusahaan yang tak mau mempekerjakan penyandang cacat dengan alasan rendahnya latar belakang pendidikan. “Kalau di kota besar masih lumayan, tetapi kalau di wilayah Indonesia Timur masih banyak yang belum tamat SD, SMP, atau SMA. Saat kita melakukan sosialisasi ‘kuota satu persen’, perusahaan mengatakan kalau sesuai dengan latar belakang pendidikan dan kemampuannya nggak masalah, bisa saya terima, ini PR buat kita semua.”

 

Oleh karenanya, Arya berharap agar Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) bisa membuat program pelatihan bagi penyandang cacat di tiap Balai Latihan Kerja (BLK) yang tersebar di semua kota di Indonesia. Pelatihan itu, lanjutnya, tentu saja sambil melihat kebutuhan pasar.

 

Bak gayung bersambut, Kasubdit Penempatan Tenaga Kerja Khusus Depnakertrans, Edi Juwono menuturkan bahwa Menakertrans beberapa waktu lalu telah mengeluarkan surat keputusan. Isinya adalah permintaan agar Dinas Tenaga Kerja di daerah untuk mengalokasikan anggaran untuk menyelenggarakan pelatihan bagi penyandang cacat.

 

Reward and punishment

Pada kesempatan yang sama, Menakertrans Muhaimin Iskandar yang diwakili Dirjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja I Gusti Arka dalam sambutan tertulisnya, mengaku telah memberikan penghargaan kepada empat perusahaan yang memperhatikan hak penyandang cacat untuk bekerja.

 

Pemberian penghargaan ini, menurut Arya, adalah kebijakan yang tepat. Ia berharap penghargaan itu bisa memicu perusahaan lain untuk lebih peduli kepada penyandang cacat. Minimal menerapkan ‘kuota satu persen’. Bagi Arya, kebijakan memberi penghargaan bisa jadi lebih berguna ketimbang memberi sanksi bagi perusahaan yang melanggar ketentuan UU 4/1997.

 

Terkait dengan masalah sanksi, Edi Juwono mengaku tak tahu-menahu apakah pernah ada perusahaan yang dihukum karena tak menerapkan ‘kuota satu persen’. “Hal ini merupakan kewenangan Ditjen Pengawasan Depnakertrans yang merupakan direktorat tersendiri,” kelitnya.

 

 

Tags:

Berita Terkait