Hak Atas Pekerjaan Para Penyandang Cacat Masih Terabaikan
Berita

Hak Atas Pekerjaan Para Penyandang Cacat Masih Terabaikan

Depnakertrans diminta memberdayakan Balai Latihan Kerja dengan lebih banyak mengikutsertakan penyandang cacat mengikuti pelatihan keterampilan kerja yang bisa diterima oleh pasar.

ASh
Bacaan 2 Menit
Hak Atas Pekerjaan Para Penyandang Cacat Masih Terabaikan
Hukumonline

Para penyandang cacat di negeri ini tampaknya masih ‘dianak-tirikan’. Lihat saja dari masalah sepele seperti banyaknya fasilitas umum yang tidak ramah terhadap para penyandang cacat. Belum lagi jika bicara tentang bagaimana pelaksanaan hak atas pekerjaan para penyandang cacat.

 

Secara normatif, sebenarnya sudah ada beberapa instrumen hukum yang dilahirkan untuk melindungi hak penyandang cacat untuk bekerja. Sebut saja UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakarjaan yang ‘mengharamkan’ diskriminasi kepada para penyandang cacat. Bahkan UU No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat makin menegaskan hak itu.

 

Pasal 14 UU No 4/1997 mewajibkan perusahaan negara dan swasta untuk menjamin kesempatan bekerja kepada para penyandang cacat. Bahkan dalam Penjelasan Pasal itu makin ditegaskan bahwa perusahaan yang mempekerjakan 100 orang wajib mempekerjakan satu orang penyandang cacat. Tak main-main. Pasal 28 UU 4/1997 itu bahkan mengatur sanksi pidana berupa kurungan maksimal enam bulan dan atau denda paling besar Rp200 juta bagi pelanggar Pasal 14.

 

Fakta di lapangan berbicara lain. Humas Yayasan Mitra Netra –yayasan yang peduli pada pendidikan  tuna netra- Arya Indrawati menyatakan ‘kuota satu persen’ bagi penyandang cacat seakan masih menjadi mitos. Menurutnya, banyak perusahaan yang meski mempekerjakan lebih dari 100 orang, ternyata tak mempekerjakan satu orang pun penyandang cacat.

 

Di satu sisi Arya tak mau terlalu menyalahkan perusahaan. Ia menduga ‘kuota satu persen’ itu tak bisa terwujud karena tak ada kesesuaian antara bakat dan keterampilan penyandang cacat dengan kebutuhan pasar.

 

“Ketika perusahaan meminta tenaga kerja, penyandang cacat tak ada. Sementara komunitas penyandang cacat bilang tidak ada perusahaan yang mau menerima kami. Untuk itu harus ada sistem pendukungnya,” kata Arya dalam sebuah seminar di Jakarta, Rabu (9/12). “Yang terjadi sekarang ini di pusat training diajarin apa, pasar membutuhkannya apa.”  

 

Pernyataan Arya diamini Kasubdit Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat Departemen Sosial, Huldaria Bako. Huldaria mengaku pernah menemui beberapa perusahaan yang tak mau mempekerjakan penyandang cacat dengan alasan rendahnya latar belakang pendidikan. “Kalau di kota besar masih lumayan, tetapi kalau di wilayah Indonesia Timur masih banyak yang belum tamat SD, SMP, atau SMA. Saat kita melakukan sosialisasi ‘kuota satu persen’, perusahaan mengatakan kalau sesuai dengan latar belakang pendidikan dan kemampuannya nggak masalah, bisa saya terima, ini PR buat kita semua.”

 

Oleh karenanya, Arya berharap agar Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) bisa membuat program pelatihan bagi penyandang cacat di tiap Balai Latihan Kerja (BLK) yang tersebar di semua kota di Indonesia. Pelatihan itu, lanjutnya, tentu saja sambil melihat kebutuhan pasar.

 

Bak gayung bersambut, Kasubdit Penempatan Tenaga Kerja Khusus Depnakertrans, Edi Juwono menuturkan bahwa Menakertrans beberapa waktu lalu telah mengeluarkan surat keputusan. Isinya adalah permintaan agar Dinas Tenaga Kerja di daerah untuk mengalokasikan anggaran untuk menyelenggarakan pelatihan bagi penyandang cacat.

 

Reward and punishment

Pada kesempatan yang sama, Menakertrans Muhaimin Iskandar yang diwakili Dirjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja I Gusti Arka dalam sambutan tertulisnya, mengaku telah memberikan penghargaan kepada empat perusahaan yang memperhatikan hak penyandang cacat untuk bekerja.

 

Pemberian penghargaan ini, menurut Arya, adalah kebijakan yang tepat. Ia berharap penghargaan itu bisa memicu perusahaan lain untuk lebih peduli kepada penyandang cacat. Minimal menerapkan ‘kuota satu persen’. Bagi Arya, kebijakan memberi penghargaan bisa jadi lebih berguna ketimbang memberi sanksi bagi perusahaan yang melanggar ketentuan UU 4/1997.

 

Terkait dengan masalah sanksi, Edi Juwono mengaku tak tahu-menahu apakah pernah ada perusahaan yang dihukum karena tak menerapkan ‘kuota satu persen’. “Hal ini merupakan kewenangan Ditjen Pengawasan Depnakertrans yang merupakan direktorat tersendiri,” kelitnya.

 

 

Tags:

Berita Terkait