Gugatan Kabur, Sidang Pengadilan Kembali Ricuh
Putusan PHI

Gugatan Kabur, Sidang Pengadilan Kembali Ricuh

Sistem acara di pengadilan hubungan industrial dinilai tidak pas dan terlalu ketat.

Kml
Bacaan 2 Menit
Gugatan Kabur, Sidang Pengadilan Kembali Ricuh
Hukumonline

 

Pengacara tersebut salah karena menggunakan Pasal 164 dan meminta dua kali pesangon ujar Hira. Saat hukumonline berusaha mengkonfirmasi keterangan pengacara pengusaha kepada Mahruzar, hpnya tidak diangkat. Pasal 164 Undang-Undang itu mengatur pesangon yang harus diberikan bila perusahaan melakukan PHK karena merugi atau karena keadaan memaksa (force majeure).

 

Dalam gugatan pekerja disebutkan penutupan tidak dilakukan perusahaan secara resmi dan tanpa ada alasan yang cukup. Maka wajar penggugat menuntut penggugat untuk membayar pesangon penggugat dengan mengacu pada Pasal 164 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang mana penggugat berhak mendapat pesangon dua kali sesuai Pasal 156 (2), penghargaan masa kerja sesuai Pasal 156 (3) dan uang penggantian hak sesuai Pasal 156 (4) demikian isi gugatan.

 

Norma, ketua SP yang mewakili pekerja, menilai pengacara pekerja tampak kurang lihai, meski dirinya mengaku kurang mengerti hukum. Sebelumnya ia sempat kesal dengan putusan hakim. Norma menyatakan pengacara tersebut dicarikan oleh Kunto Hidayat, Kepala Bagian personalia PT Arrish Rulan. Saat ditanya apakah akan tetap menggunakan pengacara itu ia menjawab belum tahu.

 

Pekerja menggugat perusahaan karena perusahaan belum membayar gaji bulan Juli Agustus dan September 2006 sebesar Rp608.8354.631,31 dan uang pesangon sebesar Rp.9.324.809.323 yang keduanya merupakan hak 463 pekerja.

 

Norma menambahkan, pertemuan demi pertemuan, dan janji pelunasan pembayaran pesangon-termasuk oleh Abdul Ghafur di DPR- tidak membawa hasil dan direalisasikan. Atas penyataan Norma Riza membantah, Belum pernah ada perjanjian, ini karena kesepakatan tidak tercapai.

 

Berulang

Kericuhan setelah pembacaan putusan bukan merupakan kali pertama, sebelumnya pembacaan putusan sela perkara Great River International (GRI) juga pernah berakhir rusuh. Saat itu hakim menilai gugatan sebagian pekerja salah alamat. Pekerja merasa seharusnya hakim diberitahu sejak awal bila ada kesalahan gugatan, mengingat mereka diwakili oleh pengurus serikat pekerjanya, seorang yang bukan advokat. Sejak saat itu polisi didatangkan ke PHI setiap hari persidangan digelar untuk ikut mengamankan.

 

Anehnya, dalam pembacaan putusan Arrish, beberapa polisi yang berada diluar ruang sidang tidak berusaha menegontrol kericuhan. Ngalihin, seorang polisi dari Polsek Metro Pancoran mengaku saat itu ia diam saja, meski mendengar teriakan-teriakan pekerja. Saya diluar aja, ga pernah masuk ruang sidang, sebagai keamanan saja ujarnya. Menurutnya juga tidak ada polisi atau satpam yang masuk.

 

Selebaran yang ditempel oleh pengadilan disebelah ruang sidangpun tampak menyedihkan. Kutipan Pasal 96 UU No. 2/2004, yang memperingatkan pengunjung untuk menjaga ketertiban belum begitu dihiraukan.

 

Tidak pas

Direktur Eksekutif Trade Union Rights Centre (TURC) Surya Chandra menganggap kasus ini adalah contoh lain problem penerapan hukum acara yang terlalu ketat. Menurutnya sistem acara PHI saat ini tidak pas, dan penggunaan sistem ini merupakan kesalahan dari awal. Ia juga menekankan perlunya penyesuaian dalam hukum acara PHI. Bukan acara yang bikin peradilan bagus atau tidak. Tapi apakah (peradilan-red) accessible (mudah diakses-red) buat para pihak atau tidak? tanyanya retorikal.

 

Surya kemudian menjelaskan Indonesia adalah satu-satunya negara yang menggunakan hukum acara perdata murni dalam peradilan buruhnya. Memberi contoh, di Jerman hakim duduk satu meja dengan para pihak Sistem acara yang terlalu ketat juga mengurangi kualitas PHI sendiri ujarnya.P4D dan P4P (Panitia penyelesaian perselisihan perburuhan dalam sistem lama-red) dianggap buruh lebih baik karena mereka hanya cerita dan tidak perlu mencari bukti tuturnya. Dulu, pejabat P4Plah yang kemudian membantu mencarikan bukti.

 

Sambil menunggu perubahan sistem lewat revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, ia mengusulkan agar hakim atraupun panitera memberi petunjuk kepada para pihak. Sebaiknya ada upaya perbaikan gugatan sebelum diproses tambahnya.

Penutupan PT Arrish Rulan milik Kemala Motik pada 18 September 2006 lalu berlanjut di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta, karena 463 pekerja menuntut kekurangan gaji dan pembayaran uang pesangon. Harapan pekerja mendapatkan hak belum tercapai karena Kamis (23/08) hakim menyatakan gugatan kabur dan karenanya tidak dapat diterima.

 

Dari pernyataan Norma Silalahi, Ketua Serikat Pekerja Nasional (SPN) PT Arrish Rulan, ketiga hakim tersebut keluar ruang sidang setelah mengetukkan palu tanda berakhirnya pembacaan putusan. Sidang perkara PHI lain yang sejatinya digelar dalam oleh hakim tersebut terpaksa ditunda hingga minggu depan, karena sekumpulan pekerja yang tidak puas sempat menduduki ruang sidang. Kami meminta penjelasan kenapa gugatan ditolak ujar Norma. Beberapa pengunjung sidang juga mengaku mendengar teriakan-teriakan pekerja yang histeris.

 

Dalam pertimbangannya, majelis hakim yang diketuai Lilik Mulyadi menyatakan gugatan kabur karena tidak mencantumkan nama-nama pekerja serta daftar kekurangan gaji dan pembayaran pesangon. Demikian pernyataan Mahruzar Sagala, kuasa hukum pekerja, dari Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum 17 Agustus 1945, yang ditemui hukumonline usai sidang.

 

Menurut hakim jumlah daftar gaji 463 pekerja harus dimasukkkan dalam posita, sementara kita tulis itu didaftar gaji. Kesalahan kita hanya itu saja ujar Mahruzar. Pekerja memang tidak merinci siapa saja yang menuntut ganti rugi dalam gugatannya, mereka hanya menyebutkan nama empat perwakilan dari Serikat Pekerja Nasional PT Arrish Rulan dan total hak yang belum dibayar.

 

Berbeda dengan keterangan Mahruzar, kuasa hukum perusahaan Hira Riza menyatakan soal daftar pesangon dan gaji yang tidak masuk gugatan adalah pertimbangan kedua. Pertimbangan pertama putusan menurut Hiza ialah karena mereka meminta pesangon dua kali ketentuan 156 (2) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan gugatan yang mengacu pada Pasal 164 ayat (1) dan (2) yang mengatur pemberian pesangon bila perusahaan merugi.

Tags: